Pages

Showing posts with label Kumpulan Cerita Rakyat Lengkap. Show all posts
Showing posts with label Kumpulan Cerita Rakyat Lengkap. Show all posts

1/28/2013

Manik Angkeran, Asal Mula Selat Bali

Pada jaman dulu di kerajaan Daha hiduplah seorang Brahmana yang benama Sidi Mantra yang sangat terkenal kesaktiannya. Sanghyang Widya atau Batara Guru menghadiahinya harta benda dan seorang istri yang cantik. Sesudah bertahun-tahun kawin, mereka mendapat seorang anak yang mereka namai Manik Angkeran.

Meskipun Manik Angkeran seorang pemuda yang gagah dan pandai namun dia mempunyai sifat yang kurang baik, yaitu suka berjudi. Dia sering kalah sehingga dia terpaksa mempertaruhkan harta kekayaan orang tuanya, malahan berhutang pada orang lain. Karena tidak dapat membayar hutang, Manik Angkeran meminta bantuan ayahnya untuk berbuat sesuatu. Sidi Mantra berpuasa dan berdoa untuk memohon pertolongan dewa-dewa. Tiba-tiba dia mendengar suara, "Hai, Sidi Mantra, di kawah Gunung Agung ada harta karun yang dijaga seekor naga yang bernarna Naga Besukih. Pergilah ke sana dan mintalah supaya dia mau mernberi sedikit hartanya."

Sidi Mantra pergi ke Gunung Agung dengan mengatasi segala rintangan. Sesampainya di tepi kawah Gunung Agung, dia duduk bersila. Sambil membunyikan genta dia membaca mantra dan memanggil nama Naga Besukih. Tidak lama kernudian sang Naga keluar. Setelah mendengar maksud kedatangan Sidi Mantra, Naga Besukih menggeliat dan dari sisiknya keluar emas dan intan. Setelah mengucapkan terima kasih, Sidi Mantra mohon diri. Semua harta benda yang didapatnya diberikan kepada Manik Angkeran dengan harapan dia tidak akan berjudi lagi. Tentu saja tidak lama kemudian, harta itu habis untuk taruhan. Manik Angkeran sekali lagi minta bantuan ayahnya. Tentu saja Sidi Mantra menolak untuk membantu anakya.

Manik Angkeran mendengar dari temannya bahwa harta itu didapat dari Gunung Agung. Manik Angkeran tahu untuk sampai ke sana dia harus membaca mantra tetapi dia tidak pernah belajar mengenai doa dan mantra. Jadi, dia hanya membawa genta yang dicuri dari ayahnya waktu ayahnya tidur.

Setelah sampai di kawah Gunung Agung, Manik Angkeran membunyikan gentanya. Bukan main takutnya ia waktu ia melihat Naga Besukih. Setelah Naga mendengar maksud kedatangan Manik Angkeran, dia berkata, "Akan kuberikan harta yang kau minta, tetapi kamu harus berjanji untuk mengubah kelakuanmu. Jangan berjudi lagi. Ingatlah akan hukum karma."

Manik Angkeran terpesona melihat emas, intan, dan permata di hadapannya. Tiba-tiba ada niat jahat yang timbul dalam hatinya. Karena ingin mendapat harta lebih banyak, dengan secepat kilat dipotongnya ekor Naga Besukih ketika Naga beputar kembali ke sarangnya. Manik Angkeran segera melarikan diri dan tidak terkejar oleh Naga. Tetapi karena kesaktian Naga itu, Manik Angkeran terbakar menjadi abu sewaktu jejaknya dijilat sang Naga.

Mendengar kernatian anaknya, kesedihan hati Sidi Mantra tidak terkatakan. Segera dia mengunjungi Naga Besukih dan memohon supaya anaknya dihidupkan kembali. Naga menyanggupinya asal ekornya dapat kembali seperti sediakala. Dengan kesaktiannya, Sidi Mantra dapat memulihkan ekor Naga. Setelah Manik Angkeran dihidupkan, dia minta maaf dan berjanji akan menjadi orang baik. Sidi Mantra tahu bahwa anaknya sudah bertobat tetapi dia juga mengerti bahwa mereka tidak lagi dapat hidup bersama.

"Kamu harus mulai hidup baru tetapi tidak di sini," katanya. Dalam sekejap mata dia lenyap. Di tempat dia berdiri timbul sebuah sumber air yang makin lama makin besar sehingga menjadi laut. Dengan tongkatnya, Sidi Mantra membuat garis yang mernisahkan dia dengan anaknya. Sekarang tempat itu menjadi selat Bali yang memisahkan pulau Jawa dengan pulau Bali.

Timun Mas



Pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri petani. Mereka tinggal di sebuah desa di dekat hutan. Mereka hidup bahagia. Sayangnya mereka belum saja dikaruniai seorang anak pun.

Setiap hari mereka berdoa pada Yang Maha Kuasa. Mereka berdoa agar segera diberi seorang anak. Suatu hari seorang raksasa melewati tempat tinggal mereka. Raksasa itu mendengar doa suami istri itu. Raksasa itu kemudian memberi mereka biji mentimun.

"Tanamlah biji ini. Nanti kau akan mendapatkan seorang anak perempuan," kata Raksasa. "Terima kasih, Raksasa," kata suami istri itu. "Tapi ada syaratnya. Pada usia 17 tahun anak itu harus kalian serahkan padaku," sahut Raksasa. Suami istri itu sangat merindukan seorang anak. Karena itu tanpa berpikir panjang mereka setuju.

Suami istri petani itu kemudian menanam biji-biji mentimun itu. Setiap hari mereka merawat tanaman yang mulai tumbuh itu dengan sebaik mungkin. Berbulan-bulan kemudian tumbuhlah sebuah mentimun berwarna keemasan.

Buah mentimun itu semakin lama semakin besar dan berat. Ketika buah itu masak, mereka memetiknya. Dengan hati-hati mereka memotong buah itu. Betapa terkejutnya mereka, di dalam buah itu mereka menemukan bayi perempuan yang sangat cantik. Suami istri itu sangat bahagia. Mereka memberi nama bayi itu Timun Mas.

Tahun demi tahun berlalu. Timun Mas tumbuh menjadi gadis yang cantik. Kedua orang tuanya sangat bangga padanya. Tapi mereka menjadi sangat takut. Karena pada ulang tahun Timun Mas yang ke-17, sang raksasa datang kembali. Raksasa itu menangih janji untuk mengambil Timun Mas.

Petani itu mencoba tenang. "Tunggulah sebentar. Timun Mas sedang bermain. Istriku akan memanggilnya," katanya. Petani itu segera menemui anaknya. "Anakkku, ambillah ini," katanya sambil menyerahkan sebuah kantung kain. "Ini akan menolongmu melawan Raksasa. Sekarang larilah secepat mungkin," katanya. Maka Timun Mas pun segera melarikan diri.

Suami istri itu sedih atas kepergian Timun Mas. Tapi mereka tidak rela kalau anaknya menjadi santapan Raksasa. Raksasa menunggu cukup lama. Ia menjadi tak sabar. Ia tahu, telah dibohongi suami istri itu. Lalu ia pun menghancurkan pondok petani itu. Lalu ia mengejar Timun Mas ke hutan.

Raksasa segera berlari mengejar Timun Mas. Raksasa semakin dekat. Timun Mas segera mengambil segenggam garam dari kantung kainnya. Lalu garam itu ditaburkan ke arah Raksasa. Tiba-tiba sebuah laut yang luas pun terhampar. Raksasa terpaksa berenang dengan susah payah.

Timun Mas berlari lagi. Tapi kemudian Raksasa hampir berhasil menyusulnya. Timun Mas kembali mengambil benda ajaib dari kantungnya. Ia mengambil segenggam cabai. Cabai itu dilemparnya ke arah raksasa. Seketika pohon dengan ranting dan duri yang tajam memerangkap Raksasa. Raksasa berteriak kesakitan. Sementara Timun Mas berlari menyelamatkan diri.

Tapi Raksasa sungguh kuat. Ia lagi-lagi hampir menangkap Timun Mas. Maka Timun Mas pun mengeluarkan benda ajaib ketiga. Ia menebarkan biji-biji mentimun ajaib. Seketika tumbuhlah kebun mentimun yang sangat luas. Raksasa sangat letih dan kelaparan. Ia pun makan mentimun-mentimun yang segar itu dengan lahap. Karena terlalu banyak makan, Raksasa tertidur.

Timun Mas kembali melarikan diri. Ia berlari sekuat tenaga. Tapi lama kelamaan tenaganya habis. Lebih celaka lagi karena Raksasa terbangun dari tidurnya. Raksasa lagi-lagi hampir menangkapnya. Timun Mas sangat ketakutan. Ia pun melemparkan senjatanya yang terakhir, segenggam terasi udang. Lagi-lagi terjadi keajaiban. Sebuah danau lumpur yang luas terhampar. Raksasa terjerembab ke dalamnya. Tangannya hampir menggapai Timun Mas. Tapi danau lumpur itu menariknya ke dasar. Raksasa panik. Ia tak bisa bernapas, lalu tenggelam.

Timun Mas lega. Ia telah selamat. Timun Mas pun kembali ke rumah orang tuanya. Ayah dan Ibu Timun Mas senang sekali melihat Timun Mas selamat. Mereka menyambutnya. "Terima Kasih, Tuhan. Kau telah menyelamatkan anakku," kata mereka gembira.

Sejak saat itu Timun Mas dapat hidup tenang bersama orang tuanya. Mereka dapat hidup bahagia tanpa ketakutan lagi.

Kebo Iwa


Di Bali pada zaman dahulu, hiduplah sepasang suami istri. Mereka kaya, hanya saja mereka belum mempunyai anak. Suatu hari mereka pergi ke pura. Mereka memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi keturunan.

Waktu pun berlalu. Sang istri mulai mengandung. Betapa bahagianya mereka. Beberapa bulan kemudian, lahirlah seorang bayi laki-laki.

Ternyata yang lahir bukanlah bayi biasa. Ketika masih bayi pun ia sudah bisa makan makanan orang dewasa. Setiap hari anak itu makin banyak dan makin banyak.

Anak itu tumbuh menjadi orang dewasa yang tinggi besar. Karena itu ia dipanggil dengan nama Kebo Iwa, yang artinya paman kerbau.

Kebo Iwa makan dan makan terus dengan rakus. Lama-lama habislah harta orang tuanya untuk memenuhi selera makannya. Mereka pun tak lagi sanggup memberi makan anaknya.

Dengan berat hati mereka meminta bantuan desa. Sejak itulah segala kebutuhan makan Kebo Iwa ditanggung desa. Penduduk desa kemudian membangun rumah yang sangat besar untuk Kebo Iwa. Mereka pun memasak makanan yang sangat banyak untuknya. Tapi lama-lama penduduk merasa tidak sanggup untuk menyediakan makanan. Kemudian mereka meminta Kebo Iwa untuk memasak sendiri. Mereka cuma menyediakan bahan mentahnya.

Kebo Iwa memang serba besar. Jangkauan kakinya sangat lebar, sehingga ia dapat bepergian dengan cepat. Kalau ia ingin minum, Kebo Iwa tinggal menusukkan telunjuknya ke tanah. Sehingga terjadilah sumur kecil yang mengeluarkan air.

Karena kehebatannya, Kebo Iwa dapat menahan serbuan pasukan Majapahit yang hendak menaklukkan Bali. Maha Patih Majapahit pun mengatur siasat. Ia mengundang Kebo Iwa ke Majapahit. Ia kemudian meminta Kebo Iwa membuatkan beberapa sumur, karena kerajaan itu kekuarangan air minum.

Kebo Iwa menyanggupi tanpa curiga. Setibanya di Majapahit, ia menggali banyak sumur. Sungguh pekerjaan yang berat, karena ia harus menggali dalam sekali. Ketika Kebo Iwa sedang bekerja di dasar sumur, Sang Patih memerintahkan pasukannya menimbuni Kebo Iwa dengan kapur. Kebo Iwa sesak napasnya. Kemudian ia pun meninggal di dasar sumur.

Dengan meninggalnya Kebo Iwa, Bali pun dapat ditaklukkan Majapahit. Berakhirlah riwayat orang besar yang berjasa pada Pulau Bali.

Asal Mula Terjadinya Burung Ruai

Konon pada zaman dahulu di daerah Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat tepatnya di pedalaman benua Bantahan sebelah Timur Kota Sekura Ibukota Kecamatan Teluk Keramat yang dihuni oleh Suku Dayak, telah terjadi peristiwa yang sangat menakjubkan untuk diketahui.

Menurut informasi orang bahwa di daerah tersebut terdapat sebuah kerajaan yang kecil, letaknya tidak jauh dari Gunung Bawang yang berdampingan dengan Gunung Ruai. Tidak jauh dari kedua gunung dimaksud terdapatlah sebuah gua yang bernama ”Gua Batu”, di dalamnya terdapat banyak aliran sungai kecil yang di dalamnya terdapat banyak ikan dan gua tersebut dihuni oleh seorang kakek tua renta yang boleh dikatakan ”sakti”.
Cerita dimulai dengan seorang raja yang memerintah pada kerajaan di atas dan mempunyai tujuh orang putri, raja itu tidak mempunyai istri lagi sejak meninggalnya permaisuri atau ibu dari ketujuh orang putrinya. Di antara ketujuh orang putri tersebut ada satu orang putri raja yang bungsu atau si bungsu. Si bungsu mempunyai budi pekerti yang baik, rajin, suka menolong dan taat pada orang tua, oleh karena itu tidak heran sang ayah sangat menyayanginya. Lain pula halnya dengan keenam kakak - kakaknya, perilakunya sangat berbeda jauh dengan si bungsu, keenam kakaknya mempunyai hati yang jahat, iri hati, dengki, suka membantah orang tua, dan malas bekerja. Setiap hari yang dikerjakannya hanya bermain - main saja.
Dengan kedua latar belakang inilah, maka sang ayah ( raja ) menjadi pilih kasih terhadap putri - putrinya. Hampir setiap hari keenam kakak si bungsu dimarah oleh ayahnya, sedangkan si bungsu sangat dimanjakannya. Melihat perlakuan inilah maka keenam kakak si bungsu menjadi dendam, bahkan benci terhadap adik kandungnya sendiri, maka bila ayahnya tidak ada di tempat, sasaran sang kakak adalah melampiaskan dendam kepada si bungsu dengan memukul habis - habisan tanpa ada rasa kasihan sehingga tubuh si bungsu menjadi kebiru - biruan dan karena takut dipukuli lagi si bungsu menjadi takut dengan kakaknya.
Untuk itu segala hal yang diperintahkan kakaknya mau tidak mau sibungsu harus menurut seperti : mencuci pakaian kakaknya, membersihkan rumah dan halaman, memasak, mencuci piring, bahkan yang paling mengerikan lagi, sibungsu biasa disuruh untuk mendatangkan beberapa orang taruna muda untuk teman/menemani kakaknya yang enam orang tadi. Semua pekerjaan hanya dikerjakan si bungsu sendirian sementara ke enam orang kakaknya hanya bersenda gurau saja.
Sekali waktu pernah akibat perlakuan keenam kakaknya itu terhadap sibungsu diketahui oleh sang raja ( ayah ) dengan melihat badan ( tubuh ) si bungsu yang biru karena habis dipukul tetapi takut untuk mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah, dan bila sang ayah menanyakan peristiwa yang menimpa si bungsu kepada keenam kakaknya maka keenam orang kakaknya tersebut membuat alasan - alasan yang menjadikan sang ayah percaya seratus persen bahwa tidak terjadi apa - apa. Salah satu yang dibuat alasan sang kakak adalah sebab badan sibungsu biru karena sibungsu mencuri pepaya tetangga, kemudian ketahuan dan dipukul oleh tetangga tersebut. Karena terlalu percayanya sang ayah terhadap cerita dari sang kakak maka sang ayah tidak memperpanjang permasalahan dimaksud.
Begitulah kehidupan si bungsu yang dialami bersama keenam kakaknya, meskipun demikian sibungsu masih bersikap tidak menghadapi perlakuan keenam kakaknya, kadang - kadang si bungsu menangis tersedu - sedu menyesali dirinya mengapa ibunya begitu cepat meninggalkannya. sehingga ia tidak dapat memperoleh perlindungan. Untuk perlindungan dari sang ayah boleh dikatakan masih sangat kurang. Karena ayahnya sibuk dengan urusan kerajaan dan urusan pemerintahan.
Setelah mengalami hari - hari yang penuh kesengsaraan, maka pada suatu hari berkumpullah seluruh penghuni istana untuk mendengarkan berita bahwa sang raja akan berangkat ke kerajaan lain untuk lebih mempererat hubungan kekerabatan diantara mereka selama satu bulan. Ketujuh anak ( putrinya ) tidak ketinggalan untuk mendengarkan berita tentang kepergian ayahnya tersebut. Pada pertemuan itu pulalah diumumkan bahwa kekuasaan sang raja selama satu bulan itu dilimpahkan kepada si bungsu, yang penting bila sang raja tidak ada di tempat, maka masalah - masalah yang berhubungan dengan kerajaan ( pemerintahan ) harus mohon ( minta ) petunjuk terlebih dahulu dari si bungsu. Mendengar berita itu, keenam kakaknya terkejut dan timbul niat masing - masing di dalam hati kakaknya untuk melampiaskan rasa dengkinya, bila sang ayah sudah berangkat nanti. Serta timbul dalam hati masing - masing kakaknya mengapa kepercayaan ayahnya dilimpahkan kepada si bungsu bukan kepada mereka.
Para prajurit berdamping dalam keberangkatan sang raja sangat sibuk untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Maka pada keesokan harinya berangkatlah pasukan sang raja dengan bendera dan kuda yang disaksikan oleh seluruh rakyat kerajaan dan dilepas oleh ketujuh orang putrinya.
Keberangkatan sang ayah sudah berlangsung satu minggu yang lewat. Maka tibalah saatnya yaitu saat-saat yang dinantikan oleh keenam kakaknya si bungsu untuk melampiaskan nafsu jahatnya yaitu ingin memusnahkan si bungsu supaya jangan tinggal bersama lagi dan bila perlu si bungsu harus dibunuh. Tanda-tanda ini diketahui oleh si bungsu lewat mimpinya yang ingin dibunuh oleh kakanya pada waktu tidur di malam hari.
Setelah mengadakan perundingan di antara keenam kakaknya dan rencanapun sudah matang, maka pada suatu siang keenam kakak di bungsu tersebut memanggil si bungsu, apakah yang dilakukannya ?. Ternyata keenam kakanya mengajak si bungsu untuk mencari ikan ( menangguk ) yang di dalam bahasa Melayu Sambas mencari ikan dengan alat yang dinamakan tangguk yang dibuat dari rotan dan bentuknya seperti bujur telur ( oval ). Karena sangat gembira bahwa kakaknya mau berteman lagi dengannya, lalu si bungsu menerima ajakan tersebut. Padahal dalam ajakan tersebut terselip sebuah balas dendam kakaknya terhadap si bungsu, tetapi si bungsu tidak menduga hal itu sama sekali.
Tanpa berpikir panjang lagi maka berangkatlah ketujuh orang putri raja tersebut pada siang itu, dengan masing - masing membawa tangguk dan sampailah mereka bertujuh di tempat yang akan mereka tuju ( lokasi menangguk ), yaitu gua batu, si bungsu disuruh masuk terlebih dahulu ke dalam gua, baru diikuti oleh keenam kakaknya. Setelah mereka masuk, si bungsu disuruh berpisah dalam menangguk ikan supaya mendapat lebih banyak dan ia tidak tahu bahwa ia tertinggal jauh dengan kakak-kakanya.
Si bungsu sudah berada lebih jauh ke dalam gua, sedangkan keenam kakaknya masih saja berada di muka gua dan mendoakan supaya si bungsu tidak dapat menemukan jejak untuk pulang nantinya. Keenam kakaknya tertawa terbahak - bahak sebab si bungsu telah hilang dari penglihatan. Suasana gua yang gelap gulita membuat si bungsu menjadi betul - betul kehabisan akal untuk mencari jalan keluar dari gua itu. Tidak lama kemudian keenam kakaknya pulang dari gua batu menuju rumahnya tanpa membawa si bungsu dan pada akhirnya si bungsupun tersesat.
Merasa bahwa si bungsu telah dipermainkan oleh kakaknya tadi, maka tinggallah ia seorang diri di dalam gua batu tersebut dan duduk bersimpuh di atas batu pada aliran sungai dalam gua untuk meratapi nasibnya yang telah diperdayakan oleh keenam kakaknya, si bungsu hanya dapat menangis siang dan malam sebab tidak ada satupun makhluk yang dapat menolong dalam gua itu kecuali keadaan yang gelap gulita serta ikan yang berenang kesana kemari.
Bagaimana nasib si bungsu ? tanpa terasa si bungsu berada dalam gua itu sudah tujuh hari tujuh malam lamanya, namun ia masih belum bisa untuk pulang, tepatnya pada hari ketujuh si bungsu berada di dalam gua itu, tanpa disangka - sangka terjadilah peristiwa yang sangat menakutkan di dalam gua batu itu, suara gemuruh menggelegar-gelegar sepertinya ingin merobohkan gua batu tersebut, si bungsupun hanya bisa menangis dan menjerit-jerit untuk menahan rasa ketakutannya, maka pada saat itu dengan disertai bunyi yang menggelegar muncullah seorang kakek tua renta yang sakti dan berada tepat di hadapan si bungsu, lalu si bungsupun terkejut melihatnya, tak lama kemudian kakek itu berkata, ” Sedang apa kamu disini cucuku ? ”, lalu si bungsupun menjawab, ” Hamba ditinggalkan oleh kakak - kakak hamba, kek ! ”, maka si bungsupun menangis ketakutan sehingga air matanya tidak berhenti keluar, tanpa diduga-duga pada saat itu dengan kesaktian kakek tersebut titik-titik air mata si bungsu secara perlahan-lahan berubah menjadi telur-telur putih yang besar dan banyak jumlahnya, kemudian si bungsupun telah diubah bentuknya oleh si kakek sakti menjadi seekor burung yang indah bulu-bulunya. Si bungsu masih bisa berbicara seperti manusia pada saat itu, lalu kakek itu berkata lagi, ” Cucuku aku akan menolong kamu dari kesengsaraan yang menimpa hidupmu tapi dengan cara engkau telah kuubah bentukmu menjadi seekor burung dan kamu akan aku beri nama ” Burung Ruai, apabila aku telah hilang dari pandanganmu maka eramlah telur-telur itu supaya jadi burung - burung sebagai temanmu ! ”. Kemudian secara spontanitas si bungsu telah berubah menjadi seekor burung dengan menjawab pembicaraan kakek sakti itu dengan jawaban kwek … kwek … kwek … kwek …. kwek, Bersamaan dengan itu kakek sakti itu menghilang bersama asap dan burung ruai yang sangat banyak jumlahnya dan pada saat itu pula burung-burung itu pergi meninggalkan gua dan hidup di pohon depan tempat tinggal si bungsu dahulu, dengan bersuara kwek … kwek …. kwek … kwek …. kwek, Mereka menyaksikan kakak - kakak si bungsu yang dihukum oleh ayahnya karena telah membunuh si bungsu.

Si Jampang Jago Betawi

Sepasang suami istri itu bahagia sekali setelah melihat bayi mereka lahir dengan selamat. ”Hem, ini dia anak lelaki pertama gue. Lihat dia nampak sehat dan gagah!

Iya Bang ! Anak kita ini nampak gagah sekali ya?

Siapa dulu dong Bapaknya? Orang Banten memang gagah-gagah!” sambung si suami.

Abang selalu mengandalkan asal Abang saja. Tanpa ada aku ibunya yang dari Jampang ini, dia tidak akan pernah ada!

Iya deh! Lalu kita beri nama apa dia?” tanya si suami.

Atas persetujuan mereka, setelah berdebat ramai, bayi yang berumur seminggu itu diberi nama si Jampang. Anak itu tumbuh menjadi seorang pemuda yang benar-benar gagah, ganteng, sebagai pemuda keturunan Banten, ia juga diajari ilmu pencak silat yang sangat terkenal itu ia juga pandai memainkan golok. Jika ia hadir di pesta-pesta keramaian selalu menarik perhatian gadis-gadis remaja.

Setelah usianya cukup dewasa dia dinikahkan dengan seorang gadis cantik dari dari Kebayoran Lama. Setelah menikah, si Jampang tidak mau hidup serumah dengan kedua orang tuanya. Ia juga tak mau tinggal di rumah mertuanya. Ia lebih suka hidup mandiri. Suka duka akan dijalaninya bersama dengan istri tercinta.

Demikianlah, setelah mengumpulkan perbekalan yang cukup ia membeli tanah dan membangun rumah sendiri yang sederhana. Ia dan keluarganya pindah ke Grogol, Depok.

Ia hidup baik-baik dan bahagia dengan istrinya itu. Namun sayang, setelah dikaruniai anak laki-laki, belum lagi anak itu beranjak remaja, sang istri sudah meninggal. Sejak itu, Jampang hanya hidup dengan anak laki satu-satunya. Anak ini dikenal dengan nama Jampang muda. Dia tumbuh pula menjadi seorang anak muda yang tampan seperti ayahnya.

Si Jampang ingin anaknya menjadi orang soleh yang berguna bagi masyarakat. Maka ia titipkan anak itu di pondok pesantren. Kadang-kadang saja anak itu pulang menemui ayahnya karena ia lebih seneng tinggal di pesantren dengan kawan-kawannya.

Sejak ditinggal mati istrinya si Jampang merasa kesepian. Ia makin sedih melihat kenyataan bahwa kehidupan rakyat Betawi banyak yang menderita. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang kaya dan senang. Maka seperti si Pitung, Jampang kemudian merampok harta orang-orang kaya yang kikir lalu diberikan kepada penduduk yang menderita.

Pada suatu hari anaknya pulang ke rumah.”Ayah, saya tak mau lagi mondok di Pesantren. Saya malu sekali, Yah!” kata anaknya

Malu? Malu kenapa Tong?” tanya si Jampang penasaran. Tong adalah panggilan sang ayah kepada anaknya.

Ayah kan orang Banten. Biasanya orang-orang Banten itu alim dan hidup baik-baik. Tapi ayah kok sering merampok? Di Pesantren sudah dibicarakan orang terus. Saya jadi malu sekali, Yah.

Kamu tidak perlu memberi nasihat kepada Ayah. Kamu masih anak kemarin, Tong. Sebenarnya kamu pulang punya maksud apa?” tanya ayahnya.

Saya tidak mau mengaji lagi, Yah.” sahut anaknya.

Payah, kamu Tong. Tadi memberi nasihat seperti kyai, sekarang tidak mau mengaji lagi. Kamu mau jadi apa? Mau jadi tukang pukul seperti ayahmu ini?

si Jampang muda menggelengkan kepala, ”Lho jadi apa maumu Tong? Kamu tidak mau mondok? Kalau begitu, lebih baik nikah saja.

Ciput mengangguk-angguk.

Ibu seperti kena guna-guna,” kata Abdih, ”Pelakunya tentu Mang Jampang. Sungguh bikin malu. Saya malu sekali. Dukun mana yang bisa menyembuhkan Ibu, Ciput?

Ciput belum pernah tahu soal guna-guna. Jadi, dia tidak bisa menjawab. Abdih bertanya kesana kemari. Akhirnya dapat berita. Pak Dul di kampung Gabus. Karena dukun itu sendiri yang membuat, dengan tidak menemui kesukaran dia pula yang mencabut guna-gunanya. Mayangsari seketika sembuh. Tidak ingat lagi kepada si Jampang.

Sesudah itu Abdih mencari Jampang. Ia marah tapi ketika bertemu Jampang ia malah tak bisa bersikap keras. Terpaksa ia bicara baik-baik.

Bisa atau tidak bisa, saya harus menikah dengan Ibumu, Abdih,” kata Jampang menegaskan.

Saya tidak melarang, Mang Jampang,” jawab Abdih yang ketakutan juga, ”Tetapi ada syaratnya, Mang Jampang harus menyerahkan sepasang kerbau sebagai emas kawinnya.

Saya tidak keberatan, Abdih. Saya akan usahakan!

Abdih pulang menyampaikan kesanggupan Jampang kepada ibunya.

Dari mana dapat kerbau sepasang ? Harga kerbau sepasang sangat mahal. Jampang tidak punya uang. Namun, dia segera ingat Haji Saud di Tambun. Dia kaya sekali. Sawahnya luas, kerbau dua ekor bukan apa-apa. Ke tempat itulah Jampang dan Sarpin pergi merampok dengan mudah. Ketika dia dengan Sarpin akan keluar dari pintu desa, sekawanan polisi sudah mengepung. Mereka menunjukkan laras-laras senapan kearah Jampang dan Sarpin. Tertangkaplah Jampang. Jampang pun tidak bisa melakukan perlawanan.

Orang-orang kaya, tuan-tuan tanah, serta pejabat pemerintah Belanda merasa gembira melihat Jampang telah dipenjara dan akhirnya dihukum mati. Sebaliknya, rakyat kecil, para petani dan mereka yang menderita amat sedih. Walaupun Jampang sering merampok, dia tidak pernah menikmati sendiri hasil rampokannya. Bagi rakyat kecil Jampang adalah sosok pahlawan mereka sering mendapat pembagian hasil rampokan dari orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah yang tamak dan kikir.

Jampang menemui nasib naas ketika merampok sepasang kerbau yang hendak digunakan sebagai Mas Kawin bagi Mayangsari, yang berarti untuk kepentingannya sendiri. Memang cara yang tidak benar, tidak halal, tidak boleh ditiru oleh siapapun agar tidak bernasib sial.

Legenda Batu Panjang

Desa Sungai Jernih-Pondok Tinggi, Kecamatan Sungai Penuh-Kabupaten Kerinci


(seperti diceritakan ayahandaku untuk pengantar tidurku diwaktu kecil)
Batu panjang sebuah dusun yang terdapat di Desa Sungai Jernih, Kecamatan Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi mempunyai legenda menarik tentang nama dusun tersebut.
Alkisah pada zaman dahulu kala, ada seorang putri kecil yang tersisih dari kasih sayang keluarganya.Tiap malam sang putri kecewa karena permintaannya tak pernah dikabulkan. Dia selalu minta sepotong ikan yang dibawa oleh kakeknya dari hasil memancing yang sudah di masak untuk santapan makan malam keluarga. Sang putri minta ikan itu ke kakek, namun kakek bilang minta ke nenek.Minta ke nenek, nenek bilang minta ke ayahmu. Minta ke ayah, ayah bilang minta ke ibumu. Minta ke ibu, ibu bilang minta ke abangmu. Minta ke abang, abang bilang minta ke kakakmu. Kemudian si putri kecil menangis tersedu sedu diatas batu didepan rumahnya sambil memandang bulan purnama dalam keadaan sangat lapar.
Sambil menangis dibawah cahaya bulan purnama dia menyanyikan sebuah lagu. Setiap selesai menyanyikan sebait lagu maka batu itu tambah tinggi, terus meninggi dan makin tinggi, maka dia menyanyi terus:
Tinggi … tinggilah engkau batu, biar kakek ku senang biar nenekku senang.
Tinggi… tinggilah engkau batu biar ayahku senang biar ibuku senang,
Tinggi… tinggilah engkau batu biar abangku senang biar kakakku senang.
Akhirnya, sampai tengah malam sang putri benyanyi, tanpa disadarinya ketinggian batu itu mencapai bulan purnama yang bersinar cerah kepadanya seperti memanggilnya pada malam itu dan sang putri menginjakkan kaki ke bulan purnama, sesampai di bulan sang putri menendang batu tersebut dan batu itu roboh memanjang di bukit, maka dinamakanlah batu itu batu panjang.
Sang putri mencapai kebahagiannya di bulan dan tersenyum manis dalam kedamaian, maka bagi orang kerinci masa lalu bila memandang bulan purnama, nampak gambar seorang putri yang sedang tersenyum ke bumi dengan cahayanya yang indah.Mengetahui sang putri berada di bulan, terpisah jauh dan tidak akan pernah bertemu lagi, keluarga menangis sedih dan menyesal karena tidak memberikan sang putri sepotong ikan di waktu makan malam itu.

Prabu Panggung Keraton

Kerajaan Dayeuh Manggung Masanggrahan adalah sebuah kerajaan kecil yang dipimpin oleh raja bernama Prabu Panggung Keraton. Meski kecil namun kerajaan ini sangat makmur dan rakyatnya terjamin kesejahteraannya. Sang prabu memiliki seorang adik perempuan yang sangat cantik bernama Putri Rarang Purbaratna. Masyarakat Dayeuh Manggung meyakini bahwa Putri mereka adalah titisan bidadari karena Putri Rarang Purbaratna memiliki paras yang sangat jelita. Kecantikannya sulit dilukiskan dengan kata-kata. Rambutnya sehitam malam dan panjang bak mayang terurai. Tubuhnya tinggi semampai dan dipercantik dengan kulit yang seperti mutiara. Matanya bening dan selalu berbinar seperti bintang. Alisnya hitam melengkung seperti busur. Hidungnya mancung dan bibirnya semerah delima. Kecantikannya semakin sempurna dengan sikap sang putri yang baik hati dan selalu menebar senyumnya yang menawan.

Namun prabu Panggung Keraton sangat khawatir karena hingga usianya yang sudah menginjak remaja, putri Rarang Purbaratna belum juga mendapatkan jodoh. Maka suatu hari prabu Panggung Keraton memanggil adik kesayangannya.
"Rayi putri, ada yang ingin kakang tanyakan kepada Rayi. Hal ini menyangkut masa depan Rayi. Dan kakang harap rayi mau berterus terang pada kakang," kata sang prabu.
"Mengenai apa kakang? " tanya putri.
"Rayi...Rayi sekarang sudah remaja. Dsn kakang merasa sudah saatnya rayi mendapatkan jodoh. Kalau kakang boleh tahu, sudahkah ada pemuda pilihan hatimu?" tanya prabu.
"Ampun kakang. Rayi memang sudah lama memikirkan hal ini, namun memang rayi belum tahu siapa yang akan menjadi jodoh rayi. Bagi rayi tidak soal siapa yang akan menjadi pendamping rayi. Asalkan dia bisa memenuhi persyaratan rayi, maka rayi akan menerimanya apa adanya." tutur putri.
"Hmmm...persyaratan apa rayi?" tanya prabu.
"Syaratnya hanyalah menjelaskan teka-teki dari rayi!" kata putri.
"Apa bunyi teka-tekinya?" tanya prabu.
"Begini:
Teras kangkung hati bitung
Bekas itik dalam lubuk
Bekas angsa pada bantar
Bekas semut di atas batu
Daun padi kering menjarum
Sisir kecil tanduk kucing
Siisr besar tanduk kuda
Kemben layung kasunten
Berhiaskan bianglala
Tulis langit gurat mega
Panjangnya seputar jagat
Intan sebesar buah labu...

Begitulah bunyinya" kata putri.

Keesokan harinya prabu Panggung Keraton mengirim ratusan utusan yang disebar ke seluruh negeri, bahkan juga ke negeri-negeri yang jauh.

Maka tidak berapa lama halaman istana sudah dipenuhi ribuan pemuda dan bahkan pria-pria tua yang ingin mengikuti sayembara. Sayang tidak satupun dari mereka yang bisa memecahkan teka-teki tersebut.

Beberapa hari kemudian banyak raja-raja dari negeri tetangga yang sudah mendengar mengenai kabar kecantikan putri Rarang Purbaratna mulai berdatangan. Namun mereka juga gagal. Salah seorang raja yang juga gagal bernama prabu Gajah Menggala dari kerajaan Kuta Genggelang. Prabu Gajah Manggala sangat kecewa dengan kegagalannya. Dia bersumpah akan menyerang kerajaan Dayeuh Manggung jika suatu hari nanti putri Rarang Purbaratna menemukan jodohnya.

Sementara itu Pangeran Munding Larik dari kerajaan Pakuan Pajajaran yang sudah berhari-hari mengembara di lautan, tanpa sengaja terdampar di kerajaan Dayeuh Manggung. Pangeran Munding Larik adalah seorang pemuda yang sangat tampan dan gagah. Dia melakukan pengembaraan dalam rangka menambah wawasan dan pengalaman sebelum dia naik tahta menggantikan ayahandanya yang sudah sepuh. Selain itu ibundanya juga berharap pangeran Munding Larik akan menemukan jodoh di perjalanannya itu. Ayahandanya membekali pangeran Munding Larik dengan sebuah gambar bernama Nusa Tiga Puluh Tiga - Bengawan Sewidak Lima, menurutnya di sanalah nanti pangeran Munding Larik akan bertemu jodoh. Pangeran juga dibekali dengan sebuah senjata bernama Senjata Sejuta Malang dan sebilah keris bernama Keris Gagak Karancang.

Pangeran dengan ditemani patihnya memutuskan untuk meneruskan perjalanan lewat daratan. Setelah berjalan jauh akhirnya mereka sampai di sebuah dataran tinggi. Iseng-iseng pangeran membuka gambar yang diberikan ayahnya. Alangkah terkejutnya karena ternyata daerah tersebut sama persis dengan gambar yang dipegangnya. Maka pangeran dan para pengikutnya memutuskan untuk menemui raja negeri tersebut.

Prabu Panggung Keraton dengan senang hati menerima kedatangan Pangeran Munding Larik. Dijelaskannya bahwa negeri tersebut sedang mengadakan sayembara untuk mendapatkan adik semata wayangnya. Pangeran Munding Larik memutuskan untuk ikut sayembara tersebut dan ternyata bisa memecahkan teka-teki sang putri dengan mudah.
"Artinya bahwa setiap ilmu kesejahteraan adalah jalan menuju keselamatan. Itulah yang dinamakan kehampaan sejati. Yang berarti asal yang sejati dan kehidupan yang sejati. Siapa pun yang sudah memahami hal tersebut, maka tentunya akan bertemu dengan kesejahteraan dan keselamatan. Dan itulah yang disebut dengan kesempurnaan sejati," tutur pangeran Munding Larik.

Karena pangeran berhasil menebak arti teka-teki tersebut, maka pangeran Munding Lariklah yang memenangkan sayembara tersebut dan berhak mempersunting putri Rarang Purbaratna. Maka segeralah digelar pesta pernikahan besar-besaran. Seluruh rakyat negeri Dayeuh Mangung menyambut gembira dan ikut berpesta di istana.

Tidak demikian halnya dengan para raja yang gagal mempersunting putri Rarang Purbaratna. Salah satunya prabu Gajah Menggala. Dia berniat melaksanakan sumpahnya untuk mengganggu ketentraman negri Dayeuh Manggung. Dia lalu pergi ke Goa Jotang untuk menemui siluman Jonggrang Kalapitung yang terkenal sakti dan memintanya untuk menculik putri Purbaratna.

Tentu saja itu adalah hal mudah bagi siluman tersebut. Dengan mudah dia menemukan kamar putri Rarang Purbaratna yang saat itu sedang tertidur pulas. Namun begitu melihat kecantikan sang putri, Jonggrang Kalapitung jatuh hati. Alih-alih menculik sang putri untuk dibawa ke tempat prabu Gajah Menggala, Jonggrang Kalapitung malah menyembunyikannya.

Prabu Panggung Keraton sangat marah mengetahui adiknya diculik. Dia mengutus patihnya untuk menemui prabu Gajah Menggala yang diyakini sebagai dalang penculikan adiknya. Namun patihnya malah menemui ajal di tangan prabu Gajah Menggala. Maka prabu Panggung Keraton memutuskan untuk menghadapinya sendiri. Maka berangkatlah ia ke negeri Kuta Genggaleng.

Saat bertemu mereka pun bertarung. Keduanya sama-sama sakti. Berbagai jurus dan ilmu mereka keluarkan. Akhirnya menjelang sore, prabu Gajah menggala yang sudah kelelahan dapat dikalahkan oleh prabu Panggung Keraton. Dengan ketakutan Prabu Gajah Menggala memohon ampun dan berjanji akan mengembalikan putri Rarang Purbaratna. Maka dia pun segera menemui Jonggrang Kalapitung dan membawa kembali putri Rarang Purbaratna ke negerinya.

Namun rupanya Jonggrang Kalapitung yang sudah jatuh hati masih menyimpan rasa sukanya kepada putri Rarang Purbaratna. Maka beberapa bulan kemudian saat sang putri sedang hamil tua, Jonggrang Kalapitung kembali menculiknya. Namun di perjalanan putri Rarang Purbaratna melahirkan bayi kembar, sehingga Jonggrang Kalapitung memutuskan untuk merubah dirinya menjadi ular besar lalu menelan sang putri dan meninggalkan bayi kembarnya di tengah hutan.

Prabu Panggung Keraton yang menyusul menemukan kedua bayi kembar tersebut. Ajaib sekali, meski masih bayi mereka sudah bisa berlari-lari sehingga sang prabu pun maklum bahwa mereka bukan bayi sembarangan. Maka mereka bertiga pun segera mengejar ular besar yang menelan putri Rarang Purbaratna. Setelah melalui perkelahian yang sangat seru, Jonggrang Kalapitung pun tewas tertebas keris pusaka prabu Panggung Keraton.

Akhirnya mereka berhasil mengeluarkan putri Rarang Purbaratna yang ternyata masih hidup dan kembali ke negeri Dayeuh Manggung. Dan mereka pun hidup berbahagia.

Asal Mula Nama Gunung Mekongga

Gunung Mekongga memiliki ketinggian 2.620 m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini.

* * *

Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume (kini bernama negeri Kolaka) dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis.

Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya.

Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba (kini bernama Belandete) ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar.

Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi.

”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul.

”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan.

”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh (bambu) yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi.

Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda.

Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka.

”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan.

Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya.

Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu.

Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu.

”Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!” pekik burung garuda itu kesakitan.

Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu.


Tasahea menombak burung garuda

Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan.

Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi.

”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan.

”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh.

”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka.

”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi.

Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.

”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi.

Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut.

Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda.

Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotu‘o”.

* * *

Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
yang berpikiran jauh,
ditimpa musibah pantang mengeluh

yang berpikiran jauh,
tahu mencari tempat berteduh

Asal Mula Nama Irian

Dahulu kala, di Kampung Sopen, Biak Barat tinggal sebuah keluarga yang memiliki beberapa anak laki-laki. Salah satu anak tersebut bernama Mananamakrdi. Ia sangat dibenci oleh saudara-saudaranya karena seluruh tubuhnya dipenuhi kudis, sehingga siapa pun tak tahan dengan baunya. Maka, saudara-saudaranya selalu meminta Mananamakrdi tidur di luar rumah. Jika Manana­­­­makrdi melawan, tak segan-segan saudara-saudaranya akan menendangnya keluar hingga ia merasa kesakitan.

Suatu hari, saudara-saudaranya sudah tak tahan dengan bau kudis itu. Maka, Mananamakrdi diusir dari rumah. Dengan langkah gontai, Mananamakrdi berjalan ke arah timur. Sesampai di pantai, diambilnya satu perahu yang tertambat. Diarunginya laut luas hingga ia menemukan sebuah darat­an yang tak lain adalah Pulau Miokbudi di Biak Timur.

Ia membuat gubuk kecil di dalam hutan. Setiap hari ia pergi memangkur sagu untuk mencukupi kebutuhan makannya. Selain itu, ia juga membuat tuak dari bunga kelapa. Kebetulan di hutan itu terdapat beberapa pohon kelapa yang dapat disadapnya. Setiap sore, ia memanjat kelapa, kemudian memotong manggarnya. Di bawah potongan itu diletakkan ruas bambu yang diikat. Hari berikutnya, ia tinggal mengambil air nira itu kemudian dibuat tuak. Suatu siang, ia amat terkejut, nira di dalam tabungnya telah habis tak bersisa. Mananamakrdi sangat kesal. Malam itu ia duduk di pelepah daun kelapa untuk menangkap pencurinya. Hingga larut malam pencuri itu belum datang. Menjelang pagi, dari atas langit terlihat sebuah makhluk memancar sangat terang mendekati pohon kelapa tempat Mananamakrdi bersembunyi. Makhluk itu kemudian meminum seluruh nira. Saat ia hendak lari, Mananamakrdi berhasil menangkapnya. Makhluk itu meronta-ronta.

“Siapa kamu?” tanya Mananamakrdi.

“Aku Sampan, si bintang pagi yang menjelang siang. Tolong lepaskan aku, matahari hampir menyingsing,” katanya memohon.

“Sembuhkan dulu kudisku, dan beri aku seorang istri cantik,” pinta Mananamakrdi.

“Sabarlah, di pantai dekat hutan ini tumbuh pohon bitanggur. Jika gadis yang kamu inginkan sedang mandi di pantai, panjatlah pohon bitanggur itu, kemudian lemparkan satu buahnya ke tengah laut. Kelak gadis itu akan menjadi istrimu,” kata Sampan. Mananamakrdi kemudian me­lepaskan Sampan.

Sejak itu setiap sore Mananamakrdi duduk di bawah pohon bitanggur memperhatikan gadis-gadis yang mandi. Suatu sore, dilihatnya seorang gadis cantik mandi seorang diri. Gadis itu tak lain adalah Insoraki, putri kepala suku dari Kampung Meokbundi. Segera dipanjatnya pohon bitanggur. Kulitnya terasa sakit bergesekan dengan pohon bitanggur yang kasar itu. Diambilnya satu buah bitanggur, dan dilemparnya ke laut.

Bitanggur itu terbawa riak air dan mengenai tubuh Insoraki hingga ia merasa terganggu. Dilemparnya buah itu ke tengah laut. Namun, buah itu kembali terbawa air dan mengenai Insoraki. Kejadian itu berlangsung berulang-ulang hingga Insoraki merasa jengkel. Ia kemudian pulang.

Beberapa hari kemudian, Insoraki hamil. Kejadian aneh di pantai ia ceritakan kepada orangtuanya. Tentu saja orangtuanya tak percaya. Beberapa bulan kemudian, Insoraki melahirkan seorang bayi laki-laki. Saat lahir, bayi itu tak menangis, namun tertawa-tawa. Beberapa waktu kemudian, diadakan pesta pemberian nama. Anak itu diberi nama Konori. Mananamakrdi hadir dalam pesta itu. Saat pesta tarian berlangsung, tiba-tiba Konori berlari dan menggelendot di kaki Mananamakrdi. “Ayaaah ...,” teriaknya. Orang-orang terkejut. Pesta tarian kemudian terhenti.

Akhirnya, Isoraki dan Mananamakrdi dinikahkan. Namun, kepala suku dan penduduk kampung merasa jijik dengan Mananamakrdi. Mereka pun meninggalkan kampung dengan membawa semua ternak dan tanamannya. Jadilah kampung itu sepi. Hanya Mananamakrdi, Insoraki, dan Konori yang tinggal. Suatu hari, Mananamakrdi mengumpulkan kayu kering, kemudian membakarnya. Insoraki dan Konori heran. Belum hilang rasa heran itu, tiba-tiba Mananamakrdi melompat ke dalam api. Spontan, Insoraki dan Konori menjerit. Namun ajaib, tak lama kemudian Mananamakrdi keluar dari api itu dengan tubuh yang bersih tanpa kudis. Wajahnya sangat tampan. Anak dan istrinya pun gembira. Mananamakrdi kemudian menyebut dirinya Masren Koreri yang berarti pria yang suci. Beberapa lama kemudian, Mananamakrdi mengheningkan cipta, maka terbentuklah sebuah perahu layar. Ia kemudian mengajak istri dan anaknya berlayar sampai di Mandori, dekat Manokwari.

Pagi-pagi buta, anaknya bermain pasir di pantai. Dilihatnya tanah berbukit-bukit yang amat luas. Semakin lama, kabut tersibak oleh sinar pagi. Tampak pegunungan yang amat cantik. Tak lama ke­­mudian matahari bersinar terang, udara menjadi panas, dan kabut pun lenyap.

“Ayah ... Irian. Iriaaan,” teriak Konori. Dalam bahasa Biak, irian berarti panas.

“Hai, Anakku, jangan memekik begitu. Ini tanah nenek moyangmu,” kata Mananamakrdi.

“Iya, Ayah. Maksud Konori, panas matahari telah menghapus kabut pagi, pemandangan di sini indah sekali,” kata Konori.

Konon, sejak saat itu wilayah tersebut disebut dengan nama Irian. Air laut yang membiru, pasirnya yang bersih, bukit-bukit yang menghijau, dan burung cendrawasih yang anggun dan molek membuat Irian begitu indah.

Asal Usul Raja Negeri Jambi

Jambi adalah salah satu nama provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Sumatera. Provinsi yang beribukota Jambi ini merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M). Konon, jauh sebelum adanya wilayah kesultanan ini, di negeri Jambi telah berdiri lima buah desa, namun belum memiliki seorang pemimpin atau raja. Untuk itu, para sesepuh dari kelima desa tersebut bersepakat untuk mencari seorang raja yang dapat memimpin dan mempersatukan kelima desa tersebut. Setelah bermusyawarah, mereka bersepakat bahwa siapa pun dapat menjadi pemimpin, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Ujian apakah yang harus ditempuh untuk menjadi pemimpin kelima desa tersebut? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi berikut ini.
* * *

Pada zaman dahulu, wilayah Negeri Jambi terdiri dari lima buah desa dan belum memiliki seorang raja. Desa tersebut adalah Tujuh Koto, Sembilan Koto, Petajin, Muaro Sebo, dan Batin Duo Belas. Dari kelima desa tersebut, Desa Batin Duo Belaslah yang paling berpengaruh.

Semakin hari penduduk kelima desa tersebut semakin ramai dan kebutuhan hidup mereka pun semakin berkembang. Melihat perkembangan itu, maka muncullah suatu pemikiran di antara mereka bahwa hidup harus lebih teratur, harus ada seorang raja yang mampu memimpin dan mempersatukan mereka. Untuk itu, para sesepuh dari setiap desa berkumpul di Desa Batin Duo Belas yang terletak di kaki Bukit Siguntang (sekarang Dusun Mukomuko) untuk bermusyawarah.

”Sebelum kita memilih seorang raja di antara kita, bagaimana kalau terlebih dahulu kita tentukan kriteria raja yang akan kita pilih. Menurut kalian, apa kriteria raja yang baik itu?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas membuka pembicaraan dalam pertemuan tersebut.

”Menurut saya, seorang raja harus memiliki kelebihan di antara kita,” jawab sesepuh dari Desa Tujuh Koto.

”Ya, Benar! Seorang raja harus lebih kuat, baik lahir maupun batin,” tambah sesepuh dari Desa Petajin.

”Saya sepakat dengan pendapat itu. Kita harus memilih raja yang disegani dan dihormati,” sahut sesepuh dari Desa Muaro Sebo.

”Apakah kalian semua setuju dengan pendapat tersebut?” tanya sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

”Setuju!” jawab peserta rapat serentak.

Akhirnya, mereka bersepakat tentang kriteria raja yang akan mereka pilih, yakni harus memiliki kelebihan di antara mereka.

”Tapi, bagaimana kita dapat mengetahui kelebihan masing-masing di antara kita?” tanya sesepuh dari Desa Sembilan Koto.

”Kalau begitu, setiap calon pemimpin harus kita uji kemampuannya,” jawab sesepuh Desa Batin Duo Belas.

”Bagaimana caranya?” tanya sesepuh Desa Petajin penasaran.

”Setiap calon harus melalui empat ujian, yaitu dibakar, direndam di dalam air mendidih selama tujuh jam, dijadikan peluru meriam dan ditembakkan, dan digiling dengan kilang besi. Siapa pun yang berhasil melalui ujian tersebut, maka dialah yang berhak menjadi raja. Apakah kalian setuju?” tanya sesepuh Desa Batin Duo Belas.

Semua peserta rapat setuju dan siap untuk mencari seorang calon raja. Mereka bersepakat untuk melaksanakan ujian tersebut dalam tiga hari kemudian di Desa Batin Duo Belas. Dengan penuh semangat, seluruh sesepuh kembali ke desa masing-masing untuk menunjuk salah seorang warganya untuk mewakili desa mereka dalam ujian tersebut. Tentunya masing-masing desa berharap memenangkan ujian tersebut. Oleh karena itu, mereka akan memilih warga yang dianggap paling sakti di antara mereka.

Waktu pelaksanaan ujian pun tiba. Semua warga dari kelima desa telah berkumpul di Desa Batin Duo Belas untuk menyaksikan lomba adu kesaktian yang mendebarkan itu. Setiap desa telah mempersiapkan wakilnya masing-masing. Sebelum perlombaan dimulai, peserta yang akan tampil pertama dan seterusnya diundi terlebih dahulu.

Setelah diundi, rupanya undian pertama jatuh kepada utusan dari Desa Sembilan Koto. Wakil desa itu pun masuk ke tengah gelanggang untuk diuji. Ia pun dibakar dengan api yang menyala-nyala, tapi tubuhnya tidak hangus dan tidak kepanasan. Ujian kedua, ia direndam di dalam air mendidih, namun tubuhnya tidak melepuh sedikit pun. Ujian ketiga, ia dimasukkan ke dalam mulut meriam lalu disulut dengan api dan ditembakkan. Ia pun terpental dan jatuh beberapa depa. Ia segera bangun dan langsung berdiri tegak seperti tidak terjadi apa-apa. Seluruh penonton kagum menyaksikan kehebatan wakil dari Desa Sembilan Koto itu.

Ketika memasuki ujian terakhir, tiba-tiba suasana menjadi hening. Seluruh penonton menjadi tegang, karena ujian yang terakhir ini adalah ujian yang paling berat. Jika kesaktian wakil dari Desa Sembilan Koto itu kurang ampuh, maka seluruh tulangnya akan hancur dan remuk. Ternyata benar, belum sempat penggilingan itu menggiling seluruh tubuhnya, orang itu sudah meraung kesakitan, karena tulang-tulangnya hancur dan remuk. Penggilingan pun segera dihentikan. Wakil dari Desa Sembilan Koto itu dinyatakan tidak lulus ujian dan gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya jatuh kepada wakil dari Desa Tujuh Koto.

”Wakil dari Desa Tujuh Koto dipersilahkan untuk memasuki gelanggang,” kata salah seorang panitia mempersilahkan.

Setelah beberapa saat menunggu, wakil dari Desa Tujuh Koto belum juga maju.

”Mana wakil dari Desa Tujuh Koto? Ayo, maju!” seru salah seorang panitia.

“Kalau tidak berani, lebih baik mundur saja!” tambahnya.

Merasa dilecehkan oleh panitia, calon dari Desa Tujuh Koto pun segera maju.

“Siapa takut? Kami dari Desa Tujuh Koto dak kenal kato undur, dak kenal kato menyerah!” seru wakil Desa Tujuh Koto itu dengan nada menantang.

Calon raja dari Desa Tujuh Koto pun diuji. Ia berhasil melalui ujian pertama hingga ujian ketiga. Namun, ia gagal pada ujian keempat. Akhirnya, ia pun gagal menjadi raja Jambi.

Ujian berikutnya dihadapi oleh wakil dari Desa Batin Duo Belas, kemudian diikuti oleh Desa Petajin dan Muaro Sebo. Namun, wakil dari ketiga desa tersebut semuanya gagal melalui ujian keempat, yakni digiling dengan kilang besi. Oleh karena semua wakil dari kelima desa tersebut gagal melalui ujian, maka mereka pun kembali mengadakan musyawarah.

“Bagaimana kalau kita mencari calon raja Jambi dari negeri lain?” usul sesepuh dari Desa Batin Duo Belas.

Usulan tersebut diterima oleh peserta rapat lainnya. Selanjutnya mereka mengutus dua wakil dari setiap desa untuk pergi mencari calon raja. Keesokan harinya, rombongan itu berangkat meninggalkan Negeri Jambi menuju ke negeri-negeri di sekitarnya. Di setiap negeri yang disinggahi, mereka menanyakan siapa yang bersedia menjadi raja Jambi dan tidak lupa pula mereka menyebutkan persyaratannya, yaitu harus mengikuti keempat ujian tersebut.

Sudah berpuluh-puluh negeri mereka singgahi, namun belum menemukan seorang pun yang bersedia menjadi raja Jambi, karena tidak sanggup menjalani keempat ujian tersebut. Rombongan itu pun kembali mengadakan musyawarah.

”Kita kembali saja ke Negeri Jambi. Mustahil ada orang yang mampu memenuhi syarat itu untuk menjadi raja Jambi,” keluh wakil Desa Petijan.

”Sabar, Saudara! Kita jangan cepat putus asa. Kita memang belum menemukan calon raja Jambi di beberapa negeri yang dekat ini. Tetapi, saya yakin bahwa di negeri jauh sana kita akan menemukan orang yang kita cari,” kata wakil Desa Muaro Sebo.

”Apa maksudmu?” tanya wakil Desa Petijan penasaran.

”Kita harus mengarungi samudera yang luas itu,” jawab wakil Desa Muaro Sebo dengan tenang.

”Kami setuju!” sahut wakil dari Desa Batin Duo Belas, Tujuh Koto, dan Sembilan Koto.

”Kalau begitu, kami juga setuju,” kata wakil Desa Petijan.

Akhirnya, rombongan itu bertekat untuk mengarungi samudera di ujung Pulau Sumatra. Setelah mempersiapkan segala keperluan, berangkatlah rombongan itu dengan menggunakan dendang (perahu besar). Setelah berhari-hari diombang-ambing oleh gelombang laut di tengah samudera yang luas itu, mereka pun tiba di Negeri Keling (India). Mereka berkeliling di Negeri Keling yang luas itu untuk mencari orang yang bersedia menjadi Raja Negeri Jambi dengan ujian yang telah mereka tentukan. Semua orang yang mereka temui belum ada yang sanggup menjalani ujian berat itu.

Pada suatu hari, mereka mendengar kabar bahwa di sebuah kampung di Negeri Keling, ada seseorang yang terkenal memiliki kesaktian yang tinggi. Akhirnya, mereka pun menemui orang sakti itu.

”Permisi, Tuan! Kami adalah utusan dari Negeri Jambi. Negeri kami sedang mencari seorang raja yang akan memimpin negeri kami, tapi dengan syarat harus lulus ujian. Apakah Tuan bersedia?” tanya salah seorang dari rombongan itu sambil menceritakan ujian yang harus dijalani calon raja itu.

”Saya sanggup menjalani ujian itu,” jawab orang itu.

Rombongan itu segera membawa calon raja itu pulang ke Negeri Jambi. Setelah menempuh perjalanan selama berminggu-minggu, tibalah mereka di Negeri Jambi. Orang sakti itu disambut gembira oleh rakyat Jambi. Mereka berharap bahwa calon yang datang dari seberang lautan itu benar-benar orang yang sakti, sehingga lulus dalam ujian itu dan menjadi raja mereka.

Keesokan harinya, orang sakti itu pun diuji. Seperti halnya calon-calon raja sebelumnya, orang sakti itu pertama-tama dibakar dengan api yang menyala-nyala. Orang Keling itu benar-benar sakti, tubuhnya tidak hangus, bahkan tidak satu pun bulu romanya yang terbakar. Setelah diuji dengan ujian kedua dan ketiga, orang itu tetap tidak apa-apa. Terakhir, orang itu akan menghadapi ujian yang paling berat, yang tidak sanggup dilalui oleh calon-calon raja sebelumnya, yaitu digiling dengan kilang besi yang besar. Pada saat ujian terakhir itu akan dimulai, suasana menjadi hening. Penduduk yang menyaksikan menahan napas. Dalam hati mereka ada yang menduga bahwa seluruh tubuh orang itu akan hancur dan remuk.

Ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Ujian terakhir itu pun dimulai. Pertama-tama, kedua ujung jari-jari kaki orang Keling itu dimasukkan ke dalam kilang besi. Kilang mulai diputar dan sedikit demi sedikit tubuh orang Keling itu bergerak maju tertarik kilang besi yang berputar. Semua penduduk yang menyaksikannya menutup mata. Mereka tidak sanggup melihat tubuh orang Keling itu remuk. Namun apa yang terjadi? Mereka yang sedang menutup mata tidak mendengarkan suara jeritan sedikit pun. Tetapi justru suara ledakan dahsyatlah yang mereka dengarkan. Mereka sangat terkejut saat membuka mata, kilang besi yang besar itu hancur berkeping-keping, sedangkan orang Keling itu tetap tidak apa-apa, bahkan ia tersenyum sambil bertepuk tangan. Penduduk yang semula tegang ikut bergembira, karena berhasil menemukan raja yang akan memimpin mereka.

Seluruh penduduk dari Desa Tujuh Koto, Sembilan Koto, Muaro Sebo, Petajin, dan Batin Duo Belas segera mempersiapkan segala keperluan untuk membangun sebuah istana yang bagus. Selain itu, mereka juga mempersiapkan bahan makanan untuk mengadakan pesta besar-besaran untuk meresmikan penobatan Raja Negeri Jambi. Beberapa bulan kemudian, berkat kerja keras seluruh warga, berdirilah sebuah istana yang indah dan orang Keling itu pun dinobatkan menjadi raja Jambi.
* * *

Demikian cerita Asal Usul Raja Negeri Jambi dari daerah Jambi, Indonesia. Cerita di atas termasuk ke dalam cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat diambil, yaitu sifat suka bermusyawarah dan pentingnya keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan masyarakat.

Pertama, sifat suka bermusyawarah. Sifat ini tercermin pada perilaku warga dari kelima desa dalam cerita di atas. Setiap menghadapi persoalan, mereka senantiasa bermusyawarah. Dalam ungkapan Melayu dikatakan:

apa tanda Melayu bertuah,
sebarang kerja bermusyawarah.

Kedua, pentingnya keberadaan seorang pemimpin. Dalam cerita di atas, masyarakat menyadari bahwa keberadaan seorang pemimpin dalam kehidupan sehari-hari sangatlah penting. Untuk itu, mereka pun berusaha mencari seorang raja yang diharapkan mampu membimbing, melindungi, menjaga, dan menuntun mereka agar kehidupan mereka aman, damai dan sejahtera. Dikatakan dalam petuah amanah orang tua-tua Melayu:

bertuah ayam ada induknya
bertuah serai ada rumpunnya
bertuah rumah ada tuannya
bertuah kampung ada penghulunya
bertuah negeri ada rajanya
bertuah iman ada jemaahnya

Batu Menangis

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur. Provinsi ini memiliki ratusan sungai besar dan kecil, sehingga dijuluki sebagai wilayah “Seribu Sungai”. Menurut cerita, di sebuah daerah di provinsi ini ada seorang gadis cantik yang menjelma menjadi batu. Peristiwa apa yang menimpa gadis itu, sehingga menjelma menjadi batu? Ingin tahu cerita selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Menangis Berikut ini!
* * *

Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.

Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.

”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.

”Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.

”Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.

Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.

”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.

”Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu.

”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata Darmi.

”Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.

Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.

Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.

”Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya.

”Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!” seru Ibunya.

Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.

”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.

”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.

”Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi.

”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.

”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.

Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan.

Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.

”Ke pasar!” jawab Darmi dengan pelan.

”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” tanya lagi temannya sambil menunjuk orang tua yang membawa keranjang.

”Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.

Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.

”Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.

”Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.

”Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Jawaban yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.

”Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran.

Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

”Hei, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.

Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.

”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

”Ibu...! Ibu... ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.

”Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.

* * *

Demikian cerita dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan dari sikap durhaka terhadap orang tua. Oleh karena itu, seorang anak harus hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya, karena doa ibu akan didengar oleh Tuhan.

Terkait dengan sifat durhaka ini, dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:

kalau hidup mendurhaka,
kemana pergi akan celaka

kalau suka berbuat durhaka,
orang benci Tuhan pun murka

Asal Mula Danau Limboto



Danau Limboto

Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini bernama Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, keberadaan danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Limboto berikut ini!
* * *
Dahulu, daerah Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila. Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar. Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk mandi dan bermain sembur-semburan air.  
Pada suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi dengan menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut, Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan bersiap-siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa saat kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan menanam berbagai macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat air yang jernih dan dingin itu, mereka segera meminumnya karena kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di dekat mata air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu, tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang, kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu pun berlarian mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya. Untungnya, badai dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama, sehingga mereka dapat selamat.
Setelah badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula. Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah pinang yang sudah dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi. Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf, Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai, Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika ini!” bentak pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai, aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan kalian, aku siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar. Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun. Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali tersenyum.
“Hai, kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i Bungale.
“Diam kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kamu pemilik mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah, Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar, permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh keyakinan.
Usai berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi, air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar dan meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!” demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi, karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh, tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula, sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada mata air Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon. Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula. Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan. Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat  mengamati buah tersebut.
Setelah mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan. Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda, tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale menemukan beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka. Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
 “Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa. Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu, Mbu`i Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Limboto dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Hingga kini Danau Limboto menjadi salah satu obyek wisata menarik di Gorontalo. Para pengunjung dapat menikmati berbagai kegiatan seperti memancing, lomba berperahu, dan menikmati ikan bakar segar.  Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas dapat dilihat pada keberanian dan kegigihan Mbu`i Bungale mempertahankan hak miliknya dengan menantang keempat orang pelancong untuk memperluas mata air Tupalo. Dalam kehidupan orang Melayu, mempertahankan hak milik sendiri sangatlah dianjurkan sebagaimana dikatakan dalam tunjuk ajar berikut ini:
apa tanda melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela