Legenda Gunung Pinang
Gunung Pinang, Serang, Banten |
SEMILIR angin senja pantai teluk
Banten mempermainkan rambut Dampu Awang yang tengah bersender di bawah
pohon nyiur. Pandangannya menembus batas kaki langit teluk Banten.
Pikirannya terbang jauh. Jauh sekali. Meninggalkan segala kepenatan
hidup dan mengenyahkan kekecewaan atas ibunya. Menuju suatu dunia
pribadi dimana hanya ada dirinya sendiri. Ya, hanya dirinya.
“Ibu tidak akan izinkan kamu pergi, Dampu.” Dia teringat kata-kata Ibunya tadi pagi.
“Tapi, Bu…” sergah Dampu Awang.
“Tidak! Sekali tidak, tetap
tidak!” Wajah ibunya mulai memerah. “Ibu tahu, nong. Kamu pergi supaya
kita tidak sengsara terus. Tapi ibu sudah cukup dengan keadaan kita
seperti ini,” lanjut ibunya sambil terus menginang.
“Ibu, Dampu janji. Kalau Dampu
pulang nanti, Dampu akan membahagiakan ibu. Dampu akan menuruti segala
perintah ibu. Coba ibu bayangkan, nanti kita akan kaya, Bu. Kita akan
bangun rumah yang besar seperti rumah para bangsawan.” Dampu Awang
merayu ibunya.
“Dampu … Ibu lelah,” ujar
ibunya. “Ibu sudah bosan mendengar ocehanmu tentang harta kekayaan.
Setiap hari kamu selalu saja melamun ingin cepat kaya”
Perkataan itu betul-betul menohok tepat di ulu hati Dampu.
“Kamu tahu nong,” Ibu
melanjutkan ceramahnya. “Ibu masih kuat sampai sekarang, itu karena
kamu. Karena masih ada kamu, Dampu. Nanti kalau kamu pergi, siapa yang
menemani ibu? Sudahlah, Dampu… Ibu sudah lelah”
Selepas shalat maghrib Dampu
Awang kembali menemani laut dari beranda rumah. Wajahnya masih
menyisakan harapan sekaligus kekecewaan yang teramat sangat mendalam.
Batinnya terus menerus bergejolak. la masih kesal dengan ucapan ibunya.
Apakah ibu tidak tahu di Malaka
sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat aku kaya? ujar Dampu
dalam hati. Dan kalau aku kaya, tentu ibu akan turut kaya raya.
Seharusnya ibu melihat jauh ke masa depan, kita tidak akan kaya kalau
kita selamanya hidup di kampung nelayan miskin ini terus.
Kesempatan ini telah lama aku
nantikan. Seorang saudagar asal Samudera Pasai datang berdagang ke
Banten. Setelah satu bulan lamanya menetap di Banten, kini saatnya
saudagar itu angkat sauh dan kembali berlayar ke negeri asal. Tinggal
satu minggu lagi, kapal itu akan berlabuh. Namun, ibu belum juga
memberikan izin.
“Dampu…” ucap ibunya lembut, khawatir mengagetkan anaknya.
Dampu melihat ibunya tersenyum.
Di matanya ada kehangatan cinta yang mendalam. Batin Dampu kembali
terguncang. Hatinya terus bertanya-tanya.
“Ada apa, Ibu?” tanya Dampu.
Ibu hanya tersenyum. Matanya
meneravvang mencari bintang di langit cerah kemudian memandang’ deburan
ombak di lautan yang bersinar karena ditimpa sinar gemerlap rembulan.
Betapa bahagia hati Dampu Awang
mendengar ibunva memberi izin. la merasakan dadanya menghangat. seolah
diselimuti pusaran energi yang dahsyat. Matanya mulai berembun. Dampu
Awang pun membentuk sebuah lengkungan manis di bibirnya.
“Terima kasih, Ibu…”
Deburan ombak, semilir angin
laut, bau asin pantai, kepak sayap burung-burung camar, lambaian
orang-orang kampung, mengiringi kepergian rombongan saudagar dari
pelabuhan. Dampu Awang melihat ibunya meratapi kepergiannya. Sebening
embun menggenang di pelupuk mata. Masih terngiang di telinganya
petuah-petuah yang diberikan ibunya sesaat sebelum ia pergi.
“Dampu…” ujar ibunya, “Ibu titip
si Ketut. Kamu harus merawat si Ketut baik-baik, ya nong. Si Ketut ini
dulunya peliharaan bapakmu. Bapakmu dulu sangat menyayangi si Ketut. la
sangat mahir sebagai burung pengirim pesan. Kamu harus rutin mengirimi
ibu kabar. Jaga baik-baik si Ketut seperti kamu menjaga ibu, ya nong,”
Ibu melanjutkan petuah-petuahnya. Air matanya sudah tidak mampu
dibendung lagi.
“Enggih, Bu.” Hanya itu yang
mampu Dampu ucapkan saat ibunya memberikan puluhan petuah sebelum Dampu
berlayar. Tapi ia berjanji akan mengirimi Surat untuk Ibunya tercinta
setiap awal purnama.
Setiap hari, saat bola api
langit masih malu-malu menyembulkan jidatnya di permukaan bumi, Dampu
Awang bekerja membersilikan seluruh galangan kapal dan merapihkan
barang-barang di kapal saudagar Teuku Abu Matsyah.
Hari berganti, bulan bergulir,
tahun bertambah. Dampu Awang kini terkenal sebagai pekerja yang rajin.
Tak aneh, jika Teuku Abu Matsyah begitu perhatian padanya. Bahkan Siti
Nurhasanah, putri Teuku Abu Matsyah, diam-diam menaruh hati padanya.
Hingga suatu hari Teuku Abu Matsyah memanggil Dampu Awang untuk
berbicara empat mata.
“Dampu…” Ujar Abu Matsyah mengawali pembicaraan.
“Saya, Juragan”
“Kita Sudah saling kenal lebih
dari lima tahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar untuk saling
mengenal,” suara Abu Matsyah terdengar berat. -Saya kagum dengan
kerajinanmu, Dampu.”
“Terima kasih, Juragan”
“Karena itu, saya berniat untuk
menjodohkan kamu dengan putriku. Siti Nurhasanah,” kata Abu Matsyah
seraya menyisir-nyisir janggut putihnya.
Dampu Awang terkejut bukan main.
la tak menyangka Teuku Abu Matsyah berbuat sejauh ini. Diam-diam ia
memang mencintai Siti Nurhasanah, tapi apa pastas? Lantas bagaimana
dengan restu ibunya di Banten’? Apakah ia marnpu membahagiakan Siti?
Berpuluh-puluh pertanyaan bersarang di kepala Dampu Awang.
“Bagaimana, Dampu?” Pertanyaan Abu Matsyah membawa Dampu Awang kembali ke alam nyata.
“Maaf, Juragan. Saya bukan rnenolak niat baik juragan.” Dampu menanti saat yang tepat. “Tetapi apakah saya pastas?”
“Jadi kamu menolak niat baik saya, Dampu?”
“Maaf. Juragan. saya tidak berani menolak niat baik juragan. Tapi …”
Sudah satu dasawarsa Dampu Awang
meninggalkan tanah kelahirannya. la hanya mengirimkan empat kali surat
kepada ibunva di Banten. Hingga suatu hari, tersiarlah kabar akan ada
saudagar besar dari Malaka. Kabar itu merembet dengan cepat seperti
kecepatan awan yang ditiup angin. Setiap orang ramai membicarakan
kekayaan saudagar itu.
“Jangan-jangan Dampu Awang
pulang,” ujar ibunya sumringah. “Dampu Awang, putraku, akhirnya pulang.”
Ujar ibunya lagi. Dari suaranya tercermin jelas keharuan dan
kegembiraan yang tiada terkira. Yang tidak akan mampu terangkum dalam
rangkaian kata atau terlalu besar untuk disimpan di dalam gubuk reotnya.
“Alhamdulillah, hatur nuhun Gusti Allah. Alhamdulillah… Alhamdulillah… Alhamdulillah,” berkali-kali wanita itu berucap syukur.
“Woi! Kapalnya sudah datang!” seseorang berseru dari arah pantai
“Hei lihat! Kapalnya besar sekali!” sahut orang yang lain.
Kapalnya luar biasa besar dan
megah. Sampai-sampai membentuk bayangan di pantai. Kayunya dari bahan
kayu pilihan. Layarnya luas terbentang. Para awak kapal yang gagah
tengah sibuk menurunkan barang bawaan.
Penduduk Banten semakin lama
semakin banyak yang merubungi pantai. Mereka penasaran siapa yang datang
berkunjung. Ibu Dampu Awang adalah salah satu diantara lautan manusia
yang semakin membludak saja itu. Tampang Ibu Dampu Awang lusuh bukan
main, bahkan pakaiannya lebih kumal dibanding bendera kapal megah itu.
Sementara itu, di dalam kapal
Dampu Awang gelisah. la sekarang sudah menjadi pewaris kekayaan tunggal
dari Teuku Abu Matsyah. Sejak Dampu menikah dengan Siti Nurhasanah,
mertuanya itu mempercayakan seluruh harta kekayaannya kepada Dampu.
Selang beberapa lama Teuku Abu Matsyah meninggal dunia. Dan kini,
namanya sudah tersohor menjadi pedagang yang kaya raya dari Malaka.
Sengaja ia singgah di kampung
halamannya, ingin melihat apakah ibunya masih hidup. Hanya untuk sekadar
melihat saja. Ratusan pasang tatap mata mengiringi seorang lelaki
tampan nan gagah yang keluar dari ruangan kapal. Bajunya terbuat dari
kain emas dan pecinya sangat indah sekali. Di pinggangnya terselip golok
sakti yang menjadi idaman setiap pendekar. Di pundaknya bertengger
seekor burung perkutut yang terlihat sangat sehat.
Di samping lelaki itu terdapat
seorang perempuan cantik yang digapitnya mesra. Dia pasti istrinya.
Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Sedangkan rambutnya hitam legam
seperti langit malam. Suatu kombinasi yang sempurna. Cantik sekali!
“Dampuuuuuu! Dampu Awaaaaaang!
Ini Ibu. Di sini. Sebelah sini!” teriak Ibu Dampu Awang sambil
melambai-lambaikan tangan. Mendadak wanita tua itu kembali mendapatkan
tenaganya kembali. Gairah yang ia rasakan seperti dulu sebelum Dampu
Awang, putranya, pergi.
“Dampu Awaaaaaang!” teriak sang ibu sekali lagi.
Semua perhatian terpusat pada
Ibu Dampu Awang yang dari tadi berteriak-teriak. Semua heran, apa betul
wanita tua dekil ini adalah ibu dari saudagar yang kaya raya itu.
“Kang Mas, apa betul dia ibumu?”
tanya istri Dampu Awang. “Mengapa Kang Mas tidak pernah cerita, kalau
orang tua Kang Mas masih hidup’?”
“Tidak! Wanita tua itu bukan ibuku!” tampik Dampu Awang dengan cepat. “Dia hanya seorang wanita gila yang sedang meracau!”
Dari atas kapal Dampu Awang menatap kerumunan penduduk yang wajahnya tampak kebingungan.
“Wahai penduduk Banten!” seru
Dampu Awang. “Tidak usah bingung. Dia bukan ibuku. Kedua orang tuaku
sudah mati. Mereka adalah manusia terhormat yang kaya raya. Bukan
seperti wanita tua itu yang berpakaian compang camping dan miskin
sengsara!”
Perkataan Dampu Awang tadi bagai
petir di siang bolong. Seperti ada godam besar yang menghujam
berkali-kali ke sanubari Ibu Dampu Awang. Perasaannya lebih sakit
dibanding saat kematian suaminya atau saat melepas putranya berlayar.
“Hei, wanita tua gila!” Dampu
Awang menunjuk ibunya. “Aku tidak pernah mempunyai ibu sepertimu. Demi
Allah, ibuku adalah seorang yang kaya raya, bukan seorang wanita miskin
yang hina sepertimu!”
Luka yang ditorehkan oleh ucapan
Dampu Awang itu semakin membesar. Menganga di dalam hati sang ibu. Sang
ibu tertunduk lesu. la bersimpuh di atas kedua lutut keriputnya.
“Nakhoda, cepat kita pergi dari
sini. Batalkan janji bertemu dengan Sultan. Kita akan lanjutkan
perjalanan!” Dampu Awang memerintah. la harus lekas pergi sebelum
orang-orang tahu kalau wanita tua yang dekil itu adalah ibu kandungnya.
Mau ditaruh di mana mukaku, ujarnya dalam hati.
Sang ibu tertunduk lesu. Air
matanya semakin tidak terbendung. Harapan, kebahagian, kegembiraan, suka
cita, yang telah dihimpunnya selama puluhan tahun, kini seolah semuanya
telah menguap tanpa bekas. Penantiannya selama puluhan tahun harus
berakhir dalam kesakithatian yang semakin mendalam.
“Duhai, Gusti. Hampura dosa,”
Ibu Dampu awang berdoa. “Kalau memang benar dia bukan anakku, biarkan ia
pergi. Tapi kalau dia adalah putraku, hukumlah ia karena telah
menyakiti perasaan ibunya sendiri.” Ibu Dampu Awang khusyuk berdoa.
Khidmat.
Tiba-tiba langit gelap.
Awan-awan hitam datang tanpa diundang. Berkumpul menjadi satu kesatuan.
Hitam dan besar. Hingga sinar matahari pun tidak mampu lagi terlihat.
Siang hari yang cerah mendadak seperti malam yang gelap gulita. Petir.
Kilat. Guntur. Saling sambar menyambar. Hujan deras.
“Ada badai. Cepat berlindung!” teriak seorang warga.
Langit muntah. Langit muntah.
Muntah besar. la menumpahkan segala yang dikandungnya. Dunia serasa
kiamat. Dampu Awang beserta kapalnya terombang-ambing di lautan.
Dipermainkan oleh alam. Allah telah menjawab rintihan seorang hamba yang
didzalimi. Para awak kapal ketakutan, mereka ramai-ramai menerjunkan
diri ke laut. Petir menyambar galangan kapal dan layar. Tiang-tiang
kapal tumbang.
Tiba-tiba keajaiban terjadi. Si Ketut bisa bicara. “Akuilah….Akuilah… Akuilah ibumu, Dampu Awang.”
“Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku. Ibuku telah mati!” sergah Dampu Awang.
“Akuilah….Akuilah… Akuilah ibumu, Dampu Awang” si Ketut mengulangi ucapannya.
“Ya Allah, berilah pelajaran yang setimpal sebagaimana yang ia lakukan padaku,” Ibu Dampu Awang kembali berdoa.
Angin puyuh besar pun datang.
Meliuk-liuk ganas di atas laut. Menyedot dan terus berputar. Kapal Dampu
Awang ikut tersedot. Kapal Dampu Awang terbang masuk ke dalam pusaran
angin puyuh. Berputar-putar. Terus berputar dalam pusaran angin puyuh.
“lbuuuuuu, tolong aku! Ini anakmu Dampu Awang!” Dampu Awang berteriak ketakutan.
Sang Ibu tetap tidak bergeming.
Kapal yang berisi segala macam
harta kekayaan itu dipermainkan oleh angin. Berputar-putar. Dan akhirnya
terlempar jauh ke selatan. Jatuh terbalik.
Menurut penuturan masyarakat,
kapal Dampu Awang yang karam berubah menjadi Gunung Pinang. Gunung itu
terletak tepat di samping jalur lalu lintas Serang – Cilegon, kecamatan
Kramat Watu, kabupaten Serang, propinsi Banten. Hingga kini, setiap
orang dengan mudah dapat menyaksikan simbol kedurhakaan anak pada ibunya
itu.
0 comments:
Post a Comment