Asal Mula Danau Limboto
Danau Limboto |
Danau Limboto merupakan sebuah danau yang terletak di Kecamatan Limboto, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo Indonesia. Dulunya, danau ini bernama Bulalo lo limu o tutu, yang berarti danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, keberadaan danau seluas kurang lebih 3.000 hektar ini disebabkan oleh sebuah peristiwa ajaib yang terjadi di daerah itu. Peristiwa apakah yang menyebabkan terjadinya Danau Limboto? Ikuti kisahnya dalam cerita Asal Mula Danau Limboto berikut ini!
* * *
Dahulu, daerah
Limboto merupakan hamparan laut yang luas. Di tengahnya terdapat dua
buah gunung yang tinggi, yaitu Gunung Boliohuto dan Gunung Tilongkabila.
Kedua gunung tersebut merupakan petunjuk arah bagi masyarakat yang
akan memasuki Gorontalo melalui jalur laut. Gunung Bilohuto menunjukkan
arah barat, sedangkan Gunung Tilongkabila menunjukkan arah timur.
Pada
suatu ketika, air laut surut, sehingga kawasan itu berubah menjadi
daratan. Tak beberapa lama kemudian, kawasan itu berubah menjadi
hamparan hutan yang sangat luas. Di beberapa tempat masih terlihat
adanya air laut tergenang, dan di beberapa tempat yang lain muncul
sejumlah mata air tawar, yang kemudian membentuk genangan air tawar.
Salah satu di antara mata air tersebut mengeluarkan air yang sangat
jernih dan sejuk. Mata air yang berada di tengah-tengah hutan dan jarang
dijamah oleh manusia tersebut bernama Mata Air Tupalo. Tempat ini
sering didatangi oleh tujuh bidadari bersaudara dari Kahyangan untuk
mandi dan bermain sembur-semburan air.
Pada
suatu hari, ketika ketujuh bidadari tersebut sedang asyik mandi dan
bersendau gurau di sekitar mata air Tupalo tersebut, seorang pemuda
tampan bernama Jilumoto melintas di tempat itu. Jilumoto dalam
bahasa setempat berarti seorang penduduk kahyangan berkunjung ke bumi
dengan menjelma menjadi manusia. Melihat ketujuh bidadari tersebut,
Jilumoto segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Dari balik
pohon itu, ia memerhatikan ketujuh bidadari yang sedang asyik mandi
sampai matanya tidak berkedip sedikitpun.
“Aduhai.... cantiknya bidadari-bidadari itu!” gumam Jilumoto dengan takjub.
Melihat
kecantikan para bidadari tersebut, Jilumoto tiba-tiba timbul niatnya
untuk mengambil salah satu sayap mereka yang diletakkan di atas batu
besar, sehingga si pemilik sayap itu tidak dapat terbang kembali ke
kahyangan. Dengan begitu, maka ia dapat memperistrinya. Ketika para
bidadari tersebut sedang asyik bersendau gurau, perlahan-lahan ia
berjalan menuju ke tempat sayap-sayap tersebut diletakkan. Setelah
berhasil mengambil salah satu sayap bidadari tersebut, pemuda tampan itu
kembali bersembunyi di balik pohon besar.
Ketika
hari menjelang sore, ketujuh bidadari tersebut selesai mandi dan
bersiap-siap untuk pulang ke Kahyangan. Setelah memakai kembali sayap
masing-masing, mereka pun bersiap-siap terbang ke angkasa. Namun, salah
seorang di antara mereka masih tampak kebingungan mencari sayapnya.
“Hai, Adik-adikku! Apakah kalian melihat sayap Kakak?”.
Rupanya,
bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari tertua yang bernama
Mbu`i Bungale. Keenam adiknya segera membantu sang Kakak untuk mencari
sayap yang hilang tersebut. Mereka telah mencari ke sana kemari, namun
sayap tersebut belum juga ditemukan. Karena hari mulai gelap, keenam
bidadari itu pergi meninggalkan sang Kakak seorang diri di dekat Mata
Air Tupalo.
“Kakak.. jaga diri Kakak baik-baik!” seru bidadari yang bungsu.
“Adikku...! Jangan tinggalkan Kakak!” teriak Mbu`i Bungale ketika melihat keenam adiknya sedang terbang menuju ke angkasa.
Keenam
adiknya tersebut tidak menghiraukan teriakannya. Tinggallah Mbu`i
Bungale seorang diri di tengah hutan. Hatinya sangat sedih, karena ia
tidak bisa bertemu lagi dengan keluarganya di Kahyangan. Beberapa saat
kemudian, Jilumoto keluar dari tempat persembunyiannya dan segera
menghampiri Mbu`i Bungale.
“Hai, Bidadari cantik! Kenapa kamu bersedih begitu?” tanya Jilumoto dengan berpura-pura tidak mengetahui keadaan sebenarnya.
“Sayapku hilang, Bang! Adik tidak bisa lagi kembali ke Kahyangan,” jawab Mbu`i Bungale.
Mendengar
jawaban itu, tanpa berpikir panjang Jilumoto segera mengajak Mbu`i
Bungale untuk menikah. Bidadari yang malang itu pun bersedia menikah
dengan Jilumoto. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk tinggal
bersama di bumi. Mereka pun mencari tanah untuk bercocok tanam. Setelah
berapa lama mencari, akhirnya sepasang suami-istri itu menemukan sebuah
bukit yang terletak tidak jauh dari Mata Air Tupalo. Di atas bukit
itulah mereka mendirikan sebuah rumah sederhana dan berladang dengan
menanam berbagai macam jenis tanaman yang dapat dimakan. Mereka menamai
bukit itu Huntu lo Ti`opo atau Bukit Kapas..
Pada suatu hari, Mbu`i Bungali mendapat kiriman Bimelula, yaitu sebuah mustika sebesar telur itik dari Kahyangan. Bimelula itu ia simpan di dekat mata air Tupalo dan menutupinya dengan sehelai tolu
atau tudung. Beberapa hari kemudian, ada empat pelancong dari daerah
timur yang melintas dan melihat mati air Tupalo tersebut. Begitu melihat
air yang jernih dan dingin itu, mereka segera meminumnya karena
kehausan setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh. Usai minum, salah
seorang di antara mereka melihat ada tudung tergeletak di dekat mata
air Tupalo.
“Hai, kawan-kawan! Lihatlah benda itu! Bukankah itu tudung?” seru salah seorang dari pelancong itu.
“Benar, kawan! Itu adalah tudung,” kata seorang pelancong lainnya.
“Aneh, kenapa ada tudung di tengah hutan yang sepi ini?” sahut pelancong yang lainnya dengan heran.
Oleh
Karena penasaran, mereka segera mendekati tudung itu dan bermaksud
untuk menangkatnya. Namun, begitu mereka ingin menyentuh tudung itu,
tiba-tiba badai dan angin topan sangat dahsyat datang menerjang,
kemudian disusul dengan hujan yang sangat deras. Keempat pelancong itu
pun berlarian mencari perlindungan agar terhindar dari marabahaya.
Untungnya, badai dan angin topan tersebut tidak berlangsung lama,
sehingga mereka dapat selamat.
Setelah
badai dan hujan berhenti, keempat pelancong itu kembali ke mata air
Tupalo. Mereka melihat tudung itu masih terletak pada tempatnya semula.
Oleh karena masih penasaran ingin mengetahui benda yang ditutupi tudung
itu, mereka pun bermaksud ingin mengangkat tudung itu. Sebelum
mengangkatnya, mereka meludahi bagian atas tudung itu dengan sepah
pinang yang sudah dimantrai agar badai dan topan tidak kembali terjadi.
Betapa terkejutnya mereka ketika mengangkat tudung itu. Mereka melihat
sebuah benda bulat, yang tak lain adalah mustika Bimelula. Mereka pun tertarik dan berkeinginan untuk memiliki mustika itu. Namun begitu mereka akang mengambil mustika Bimelula itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale datang bersama suaminya, Jilumoto.
“Maaf,
Tuan-Tuan! Tolong jangan sentuh mustika itu! Izinkanlah kami untuk
mengambilnya, karena benda itu milik kami!” pinta Mbu`i Bungale.
“Hei, siapa kalian berdua ini? Berani sekali mengaku sebagai pemilik mustika ini!” seru seorang pemimpin pelancong.
“Saya Mbu`i Bungale datang bersama suamiku, Jilumoto, ingin mengambil mustika itu,” jawab Mbu`i Bungale dengan tenang.
“Hai,
Mbu`i Bungale! Tempat ini adalah milik kami. Jadi, tak seorang pun
yang boleh mengambil barang-barang yang ada di sini, termasuk mustika
ini!” bentak pemimpin pelancong itu.
“Apa buktinya bahwa tempat ini dan mustika itu milik kalian?” tanya Mbui`i Bungale.
Pemimpin pelancong itu pun menjawab:
“Kalian mau lihat buktinya? Lihatlah sepah pinang di atas tudung itu! Kamilah yang telah memberinya,” ujar pemimpin pelancong.
Mendengar pengakuan para pelancong tersebut, Mbu`i Bungale hanya tersenyum.
“Hai,
aku ingatkan kalian semua! Kawasan mata air ini diturunkan oleh Tuhan
Yang Mahakuasa kepada orang-orang yang suka berbudi baik antarsesama
makhluk di dunia ini. Bukan diberikan kepada orang-orang tamak dan rakus
seperti kalian. Tapi, jika memang benar kalian pemilik dan penguasa di
tempat ini, perluaslah mata air ini! Keluarkanlah seluruh kemampuan
kalian, aku siap untuk menantang kalian!” seru Mbu`i Bungale.
Keempat
pelancong itu pun bersedia menerima tantangan Mbu`i Bungale. Si
pemimpin pelancong segera membaca mantradan mengeluarkan seluruh
kemampuannya.
“Wei mata air Kami! Meluas dan membesarlah,” demikian bunyi mantranya.
Berkali-kali
pemimpin pelancong itu membaca mantranya, namun tak sedikit pun
menunjukkan adanya tanda-tanda mata air itu akan meluas dan membesar.
Melihat pemimpin mereka sudah mulai kehabisan tenaga, tiga anak buah
pelancong tersebut segera membantu. Meski mereka telah menyatukan
kekuatan dan kesaktian, namun mata air Tupalo tidak berubah sedikit pun.
Lama-kelamaan keempat pelancong pun tersebut kehabisan tenaga. Melihat
mereka kelelahan dan bercucuran keringat, Mbu`i Bungale kembali
tersenyum.
“Hai,
kenapa kalian berhenti! Tunjukkanlah kepada kami bahwa mata air itu
milik kalian! Atau jangan-jangan kalian sudah menyerah!” seru Mbu`i
Bungale.
“Diam
kau, hai perempuan cerewet! Jangan hanya pandai bicara!” sergah
pemimpin pelancong itu balik menantang Mbu`i Bungale. “Jika kamu pemilik
mata air ini, buktikan pula kepada kami!”
“Baiklah,
Tuan-Tuan! Ketahuilah bahwa Tuhan Maha Tahu mana hambanya yang benar,
permintaannya akan dikabulkan!” ujar jawab Mbu`i Bungale dengan penuh
keyakinan.
Usai
berkata begitu, Mbu`i Bungale segera duduk bersila di samping suaminya
seraya bersedekap. Mulutnya pun komat-kamit membaca doa.
“Woyi,
air kehidupan, mata air sakti, mata air yang memiliki berkah. Melebar
dan meluaslah wahai mata air para bidadari.... membesarlah....!!!”
demikian doa Mbu`i Bungale.
Usai
berdoa, Mbu`i Bungale segera mengajak suaminya dan memerintahkan
keempat pelancong tersebut untuk naik ke atas pohon yang paling tinggi,
karena sebentar lagi kawasan itu akan tenggelam. Doa Mbu`i Bungale pun
dikabulkan. Beberapa saat kemudian, perut bumi tiba-tiba bergemuruh,
tanah bergetar dan menggelegar. Perlahan-lahan mata air Tupalo melebar
dan meluas, kemudian menyemburkan air yang sangat deras. Dalam waktu
sekejap, tempat itu tergenang air. Keempat pelancong tersebut takjub
melihat keajaiban itu dari atas pohon kapuk.
Semakin
lama, genangan air itu semakin tinggi hingga hampir mencapai tempat
keempat pelancong yang berada di atas pohon kapuk itu. Mereka pun
berteriak-teriak ketakutan.
“Ampun Mbu`i Bungale! Kami mengaku salah. Engkaulah pemilik tempat ini dan seisinya!” teriak pemimpin pelancong itu.
Mbu`i
Bungale adalah bidadari yang pemaaf. Dengan segera ia memohon kepada
Tuhan agar semburan mata air Tupalo dikembalikan seperti semula,
sehingga genangan air itu tidak semakin tinggi dan menenggelamkan
keempat pelancong tersebut. Tak berapa lama kemudian, semburan air pada
mata air Tupalo kembali seperti semula. Mereka pun turun dari pohon.
Mbu`i Bungale segera mengambil tudung dan mustika Bimelula.
Ajaibnya, ketika ia meletakkan di atas tangannya, mustika yang
menyerupai telur itik itu tiba-tiba menetas dan keluarlah seorang bayi
perempuan yang sangat cantik. Wajahnya bercahaya bagaikan cahaya bulan.
Mbu`i Bungale pun memberinya nama Tolango Hula, diambil dari kata Tilango lo Hulalo yang berarti cahaya bulan. Menurut cerita, Tolango Hula itulah yang kelak menjadi Raja Limboto.
Setelah
itu, Mbu`i Bungale dan suaminya segera membawa gadis kecil itu dan
mengajak keempat pelancong tersebut ke rumah mereka. Ketika hendak
meninggalkan tempat itu, tiba-tiba Mbu`i Bungale melihat lima buah benda
terapung-apung di tengah danau.
“Hai, benda apa itu?” seru Mbu`i Bungale dengan heran sambil menunjuk ke arah benda tersebut.
Karena penasaran, Mbu`i Bungale segera mengambil kelima benda tersebut.
“Bukankah ini buah jeruk?” pikirnya saat mengamati buah tersebut.
Setelah
mencubit dan mencium buah tersebut, lalu mengamatinya, maka yakinlah
Mbu`i Bungale bahwa buah jeruk itu sama seperti yang ada di Kahyangan.
Untuk lebih meyakinkan dirinya, ia bermaksud untuk memeriksa pepohonan
yang tumbuh di sekitar danau.
“Kanda,
tolong gendong Tolango Hula! Dinda ingin memeriksa pepohonan di
sekitar danau ini. Jangan-jangan di antara pepohonan itu ada pohon
jeruk yang tumbuh,” ujar Mbu`i Bungale seraya menyerahkan bayinya
kepada sang Suami, Jilumoto.
Setelah
beberapa saat mencari dan memeriksa, akhirnya Mbu`i Bungale menemukan
beberapa pohon jeruk yang sedang berbuah lebat. Untuk memastikan bahwa
pohon yang ditemukan itu benar-benar pohon jeruk dari Kahyangan, ia
segera memanggil suaminya untuk mengamatinya.
“Kanda, kemarilah sebentar!” seru Mbu`i Bungale.
“Coba perhatikan pohon dan buah jeruk ini! Bukankah buah ini seperti jeruk Kahyangan, Kanda?” ujarnya.
Suaminya
pun segera mendekati pohon jeruk itu sambil menggendong bayi mereka.
Setelah memegang dan mengamatinya, ia pun yakin bahwa pohon dan buah
jeruk itu berasal dari Kahyangan.
“Kamu benar, Dinda! Pohon jeruk ini seperti yang ada di Kahyangan,” kata Jilumoto.
“Dinda heran! Kenapa ada pohon jeruk Kahyangan tumbuh di sekitar danau ini?” ucap Mbu`i Bungale dengan heran.
Beberapa
saat kemudian, Mbu`i Bungale baru menyadari bahwa keberadaan pohon
jeruk di sekitar danau itu merupakan anugerah dari Tuhan Yang Mahakuasa.
Untuk mengenang peristiwa yang baru saja terjadi di daerah itu, Mbu`i
Bungale dan suaminya menamakan danau itu Bulalo lo limu o tutu, yang artinya danau dari jeruk yang berasal dari Kahyangan. Lama-kelamaan, masyarakat setempat menyebutnya dengan Bulalo lo Limutu atau lebih dikenal dengan sebutan Danau Limboto.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Danau Limboto
dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Hingga kini Danau Limboto menjadi
salah satu obyek wisata menarik di Gorontalo. Para pengunjung dapat
menikmati berbagai kegiatan seperti memancing, lomba berperahu, dan
menikmati ikan bakar segar. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita
di atas dapat dilihat pada keberanian dan kegigihan Mbu`i Bungale
mempertahankan hak miliknya dengan menantang keempat orang pelancong
untuk memperluas mata air Tupalo. Dalam kehidupan orang Melayu,
mempertahankan hak milik sendiri sangatlah dianjurkan sebagaimana
dikatakan dalam tunjuk ajar berikut ini:
apa tanda melayu bertuah,
hak milik orang ia pelihara
hak milik diri ia jaga
hak milik bersama ia bela
0 comments:
Post a Comment