KESULTANAN PERLAK
Kesultanan Perlak adalah kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, Aceh sekarang yang berkuasa tahun 840 sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Awal Mula / Sejarah Masuknya Islam
Puteri Maharaj Syahriar Sa’man yang bernama Puteri Tansyir Dewi akhirnya dinikahi oleh seorang sayid keturunan Arab yang bernama Sayid Maulana Ali Al-Mukbatar penerus Islam Syi’ah. Di samping Sayid Maulana Ali Al-Muktabar yang datang ke Perlak dan Arab, terdapat juga orang Arab dan Bani Hasyim dan keturunan Rasulullah lainnya yang datang ke Aceh dan wilayah nusantara lainnya dalam rangka melakukan perdagangan sekaligus menyiarkan agama Islam dan mereka kemudian berbaur dan menikah dengan penduduk setempat terutama dengan keluarga Meurah seperti Syarifah Azizah yang menikah dengan Sultan Perlak ke-115.
Seperti diketahui dalam sejarah Islam, setelah masa Khalifaturrasyidin berakhir yang diperintah berturut—turut oleh sahabat Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali, secara politik muncullah dua dinasti besar yakni Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Berangkat dan perbedaan politik ini, pada waktu yang sama, muncul pula banyak aliran pemahaman dan pengamalan Islam seperti aliran Sunni, Syi’ah dan Khawarij dan lain sebagainnya.Dinasti Umayyah dan Abbasiyah sangat menentang aliran Syi’ah yang dipimpin oleh keturunan Ali bin Abu Thalib yang juga menantu Rasulullah SAW. Oleh karena itu, tidak mengherankan aliran Syi’ah pada era dua dinasti ini tidak mendapatkan tempat yang aman. Karena jumlahnya minoritas, banyak penganut Syi’ah terpaksa harus menyingkir dan wilayah yang dikuasai oleh dua dinasti tersebut.
Pada masa Khalifah Makmun bin Harun al-Rasyid (167-219 H / 813-833M), salah satu keturunan Ali bin Abi Thalib di Mekkah yang bernama Muhammad bin Jakfar al-Shadiq menentang pemerintahan yang dikuasai oleh Khalifah Makmun yang berpusat di Baghdad. Muhamad bin Jakfar al-Shadiq adalah Imam Syi’ah ke-6 yang juga masih keturunan Rasulullah SAW. Adapun silsilahnya sampaI ke Rasulullah SAW adalah sebagai berikut: ”Muhammad bin Jakfar al-Shadiq bin Muhammad al Baqir- bin Ali Muhammad Zain al-Abidin bin Sayidina Husain al-Syahid bin Fatimah binti Muhammad Rasulullah SAW”.
Khalifah Makmun akhirnya mengirim pasukan ke Mekkah untuk meredakan pemberontakan kaum Syi’ah. Kaum pemberontak dapat ditumpas namun Muhamad bin Jakfar al-Shadiq dan para penganutnya tidak dibunuh sebaliknya disarankan oleh Khalifah Makmun untuk berhijrah dan menyebarkan Islam ke Hindi, Asia Tenggara dan daerah sekitarnya. Sebagai tindak lanjut, maka berangkatlah satu kapal yang memuat rombongan angkatan dakwah yang di kemudian hari dikenal di Aceh dengan Nahkoda Khalifah dengan misi menyebarkan Islam. Salah satu anggota dan Nahkoda Khalifah itu adalah Sayid Ali al- Muktabar bin Muhammad Dibai bin Imam Jakfar al-Shadiq.
Menurut kitab Idharul Haq Fi Mamlakat al-Perlak yang ditulis oleh Syekh Ishak Makarani al-Pasi, pada tahun 173 H (800 M) Bandar Perlak disinggahi oleh satu kapal yang membawa kurang lebih 100 orang da’i yang terdiri dan orang-orang Arab dan suku Quraish. Palestina. Persia, dan India di bawah pimpinan Nahkoda Khalifah sambil berdagang sekaligus berdakwah. Setiap orang mempunyai keterampilan khusus terutama di bidang pertanian, kesehatan. pemerintahan, strategi, dan taktik perang serta keahlian-keahlian lainnya. Ketika sampai di Perlak, rombongan Nahkoda Khalifah disambut dengan damai oleh penduduk dan penguasa Perlak yang berkuasa saat itu yakni Meurah Syahir Nuwi. Dengan cara dakwah yang sangat menarik, akhirnya Meurah Syahir Nuwi memeluk agama Islam sehingga menjadi raja pertama yang menganut Islam di Perlak.
Disisi lain, sambil berdakwah mereka menularkan keahlian itu kepada penduduk lokal secara perlahan-lahan untuk diterapkan dalam kehidupan mereka. Kegiatan-kegiatan ini rupanya menarik penduduk lokal sehingga dalam waktu yang relatif singkat mereka tertarik masuk Islam dengan suka rela. Sebagian dan anggota rombongan itu menikah dengan penduduk lokal termasuk Sayid Ali al-Muktabar kemudian menikah dengan adik Syahir Nuwi yang bernama Puteri Tansyir Dewi. Pernikahan Sayid Ali Al-Muktabar ini dianugerahi seorang putra bernama Sayid Maulana Abdul Aziz Syah. Sayid Maulana Abdul Aziz Syah ini setelah dewasa dinobatkan menjadi Sultan Pertama Kerajaan Islam Perlak bertepatan pada tanggal 1 Muharram 225 H.
Islam menyebar dengan cepat di kawasan Timur Tengah pada zaman khalifaturasyidin (Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali) dan pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah Islam (didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan 661-680 M), Islam mulai disebarkan hingga kawasan Melayu. Walaupun pada awalnya dimotivasi kegiatan perdagangan terutama lada hitam yang diproduksi oleh kerajaan Melayujambi, para pedagang Arab berusaha mengajak rakyat dan Raja Lokitawarman yang beragama Budha untuk masuk Islam. Atas inisiatif Khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M) “dakwah Islam mulai menunjukkan keberhasilannya ketika Raja Lokitawarman diganti Raja Srindrawarman yang kemudian memeluk agama Islam.
Sejak peristiwa itu, kawasan Melayu dikenal oleh orang Arab sebagai Sribuza Islam. Dalam catatan I-Tsing, saat itu Melayu dibawah kekuasaan Sriwijaya yang beribu kota di Palembang (Shi Li Fo Shih) dengan Budha sebagai agama resminya. Kerajaan Islam yang dipimpin Raja Srindrawarman tidak dibiarkan lama berkuasa oleh Sriwijaya. Dengan bantuan Kerajaan Tang (Cina) yang merasa perdagangan lada hitamnya terancam oleh pengislaman Jambi, Sriwijaya menundukan Jambi (± 730 M) setelah menawaskan Indrawarman, raja kedua dan terakhir kerajaan Islam Jambi. Di masa dinasti Abbasiyah, sekitar awal abad ke-9, Islam mulai tersebar di Perlak (Aceh) dibawa para ulama Syi’ah yang dipimpin oleh Nahkoda Khalifah. Mereka merapat di pelabuhan Perlak, Aceh sekitar tahun 820 M sebagai akibat dan kekalahan golongan Syi’ah oleh dinasti Abbasiyah. Dinasi Abbasiyah yang pada saat itu dipimpin Khalifah Al-Makmun (813-833) meredam pemberontakan kaum Syi’ah Alawiyah yang dipimpim Muhammad bin Ja’far As-Sadiq di Mekkah. Walaupun menang, Khalifah Al-Makmun melepas dan bahkan menganjurkan mereka untuk berdakwah ke luar kawasan Arab dan satu di antara rombongan kaum Syi’ah itu adalah rombongan Nahkoda Khalifah.
Pemerintahan Perlak sendiri pada saat itu masih berupa pelabuhan yang dikelilingi pemukiman dan dibawah kontrol penguasa Syahr Nuwi keturunan Persia dan Cina. Salah seorang di antara anggota Nahkoda Khalifah adalah Ali bin Muhammad bin Ja’far As-Sadiq yang menikah dengan adik/anak Meurah Syahr Nuwi yang bernama Puteri Makhdum Tansyuri (Tansyir Dewi).
Dari darah Puteri Makhdum Tansyuri (Tansyir Dewi) inilah lahir anak cucu yang dikemudian hari menjadi pejuang dan penyebar Islam ke berbagai wilayah di nusantara.
Perkawinan Puteri Makhdum Tansyuri dan keturunan Rasulullah SAW, Ali bin Muhammad bin Ja’far As-Sadiq dikarunia seorang putera yang diberi nama Sayid Abdul Aziz, yang setelah dewasa diangkat menjadi Sultan Perlak Pertama pada tahun 840 M dengan gelar Sultan Sayid Maulana Abdul Aziz Syah sekaligus sebagai momen berdirinya kerjaaan Islam pertama di nusantara pada tanggal 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah sebagai bentuk perhargaan terhadap jasa Nakhoda Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian dimakamkan di Paya Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Perkembangan dan pergolakan
Sejarah keislaman di Kesultanan Perlak tidak luput dari persaingan antara kelompok Sunni dan Syiah. Perebutan kekuasaan antara dua kelompok Muslim ini menyebabkan terjadinya perang saudara dan pertumpahan darah. Silih berganti kelompok yang menang mengambil alih kekuasaan dari tangan pesaingnya.
Aliran Syi’ah datang ke Indonesia melalui para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia. Mereka masuk pertama kali melalui Kesultanan Perlak dengan dukungan penuh dari dinasti Fatimiah di Mesir. Ketika dinasti ini runtuh pada tahun 1268, hubungan antara kelompok Syi’ah di pantai Sumatera dengan kelompok Syi’ah di Mesir mulai terputus. Kondisi ini menyebabkan konstelasi politik Mesir berubah haluan. Dinasti Mamaluk memerintahkan pasukan yang dipimpin oleh Syaikh Ismail untuk pergi ke pantai timur Sumatra dengan tujuan utamanya adalah melenyapkan pengikut Syi’ah di Kesultanan Perlak dan Kerajaan Samudera Pasai.
Sebagai informasi tambahan bahwa raja pertama Kerajaan Samudera Pasai, Marah Silu dengan gelar Malikul Saleh berpindah agama, yang awalnya beragama Hindu kemudian memeluk Islam aliran Syiah. Oleh karena dapat dibujuk oleh Syaikh Ismail, Marah Silu kemudian menganut paham Syafii. Dua pengikut Marah Silu, Seri Kaya dan Bawa Kaya juga menganut paham Syafii, sehingga nama mereka berubah menjadi Sidi Ali Chiatuddin dan Sidi Ali Hasanuddin. Ketika berkuasa Marah Silu dikenal sebagai raja yang sangat anti terhadap pemikiran dan pengikut Syi’ah. Aliran Sunni mulai masuk ke Kesultanan Perlak, yaitu pada masa pemerintahan sultan ke-3, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah. Setelah ia meninggal pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni, yang menyebabkan kesultanan dalam kondisi tanpa pemimpin. Pada tahun 302 H (915 M), kelompok Syiah memenangkan perang. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah kemudian memegang kekuasaan kesultanan sebagai sultan ke-4 (915-918). Ketika pemerintahannya berakhir, terjadi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni, hanya saja untuk kali ini justru dimenangkan oleh kelompok Sunni.
Kurun waktu antara tahun 918 hingga tahun 956 relatif tidak terjadi gejolak yang berarti. Hanya saja, pada tahun 362 H (956 M), setelah sultan ke-7, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat meninggal, terjadi lagi pergolakan antara kelompok Syiah dan Sunni selama kurang lebih empat tahun. Bedanya, pergolakan kali ini diakhiri dengan adanya itikad perdamaian dari keduanya. Kesultanan kemudian dibagi menjadi dua bagian.
• Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986 – 988)
• Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986 – 1023)
Kedua kepemimpinan tersebut bersatu kembali ketika salah satu dari pemimpin kedua wilayah tersebut, yaitu Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal. Ia meninggal ketika Perlak berhasil dikalahkan oleh Kerajaan Sriwijaya. Kondisi perang inilah yang membangkitkan semangat bersatunya kembali kepemimpinan dalam Kesultanan Perlak. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat, yang awalnya hanya menguasai Perlak Pedalaman kemudian ditetapkan sebagai Sultan ke-8 pada Kesultanan Perlak. Ia melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006. Sultan ke-8 sebenarnya berpaham aliran Sunni, namun sayangnya belum ditemukan data yang menyebutkan apakah terjadi lagi pergolakan antar kedua aliran tersebut.
Penggabungan dengan Samudera Pasai
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (memerintah 1230 – 1267) menjalankan politik persahabatan dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
• Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).
• Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (memerintah 1267 – 1292). Setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
Daftar Sultan Perlak
Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak.
Dinasti Saiyid Maulana
1. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdul-Aziz Syah, memerintah pada tahun 225-249 H (840-864 M).
2. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abdur-Rahim Syah, memerintah pada tahun 249-274 H (864-888 M).
3. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Abbas Syah, memerintah pada tahun 274-300 H (888-913 M).
4. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Ali Mughayah Syah, memerintah pada tahun 302-305 H (915-918 M).
Dinasti Makhdum Johan Berdaulat
Raja-raja Dinasti Makhdum Johan Berdaulat adalah turunan dari Meurah Perlak asli (Syahir Nuwi).
5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul-Kadir Syah Johan Berdaulat, memerintah tahun 306-310 H (918-922 M).
6. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 310-334 H (922-946 M).
7. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul-Malik Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 334-361 H (946-973 M).
8.a. Sultan Alaiddin Saiyid Maulana Mahmud Syah sebagai sultan yang memerintah pada tahun 365-377 H (976-988 M) dari Dinasti Saiyid Maulana.
8.b. Sultan Makdhum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan Berdaulat sebagai sultan yang memerintah pada tahun 365-402 H (976-1012 M) dari dinasti Makhdum Johan Berdaulat.
9. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 402-450 H (1012-1059 M).
10. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mansur Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 450-470 H (1059-1078 M).
11. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdullah Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 470-501 H (1078-1108 M).
12. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ahmad Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 501-527 H (1108-1134 M).
13. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Mahmud Syah II Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 527-552 H (1134-1158 M).
14. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Usman Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 552-565 H (1158-1170 M).
15. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 565-592 H (1170-1196 M).
16. Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Jalil Syah Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 592-622 H (1196-1225 M).
17. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat, memerintah pada tahun 622-662 H (1225-1263 M).
18. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat, yang memerintah pada tahun 662-692 H (1263-1292 M).
Periode Pemerintahan
Sultan Perlak ke-17, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat, melakukan politik persahabatan dengan negeri-negeri tetangga. Ia menikahkan dua orang puterinya, yaitu: Putri Ratna Kamala dinikahkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara) dan Putri Ganggang dinikahkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, al-Malik al-Saleh.
Kesultanan Perlak berakhir setelah Sultan yang ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat meninggal pada tahun 1292. Kesultanan Perlak kemudian menyatu dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah kekuasaan sultan Samudera Pasai yang memerintah pada saat itu, Sultan Muhammad Malik Al Zahir yang juga merupakan putera dari al-Malik al-Saleh.
Wilayah Kekuasaan Sebelum bersatu dengan Kerajaan Samudera Pasai, wilayah kekuasaan Kesultanan Perlak hanya mencakup kawasan sekitar Perlak saja. Saat ini, kesultanan ini terletak di pesisir timur daerah aceh yang tepatnya berada di wilayah Perlak, Aceh Timur, Nangroe Aceh Darussalam, Indonesia.
Kehidupan Sosial-Budaya
Perlak dikenal dengan kekayaan hasil alamnya yang didukung dengan letaknya yang sangat strategis. Apalagi, Perlak sangat dikenal sebagai penghasil kayu perlak, yaitu jenis kayu yang sangat bagus untuk membuat kapal. Kondisi semacam inilah yang membuat para pedagang dari Gujarat, Arab, dan Persia tertarik untuk datang ke daerah ini. Masuknya para pedagang tersebut juga sekaligus menyebarkan ajaran Islam di kawasan ini. Kedatangan mereka berpengaruh terhadap kehidupan sosio-budaya masyarakat Perlak pada saat itu. Sebab, ketika itu masyarakat Perlak mulai diperkenalkan tentang bagaimana caranya berdagang. Pada awal abad ke-8, Perlak dikenal sebagai pelabuhan niaga yang sangat maju.
Model pernikahan percampuran mulai terjadi di daerah ini sebagai konsekuensi dari membaurnya antara masyarakat pribumi dengan masyarakat pendatang. Kelompok pendatang bermaksud menyebarluaskan misi Islamisasi dengan cara menikahi wanita-wanita setempat. Sebenarnya tidak hanya itu saja, pernikahan campuran juga dimaksudkan untuk mengembangkan sayap perdagangan dari pihak pendatang di daerah ini.
Bukti
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan Peureulak dengan sultannya yang pertama Alauddin Syah yang memerintah tahun 520–544 H atau 1161–1186 M. Sultan yang telah ditemukan makamnya adalah Sulaiman bin Abdullah yang wafat tahun 608 H atau 1211 M.
Chu-fan-chi, yang ditulis Chau Ju-kua tahun 1225, mengutip catatan seorang ahli geografi, Chou Ku-fei, tahun 1178 bahwa ada negeri orang Islam yang jaraknya hanya lima hari pelayaran dari Jawa. Mungkin negeri yang dimaksudkan adalah Peureulak, sebab Chu-fan-chi menyatakan pelayaran dari Jawa ke Brunai memakan waktu 15 hari. Eksistensi negeri Peureulak ini diperkuat oleh musafir Venesia yang termasyhur, Marco Polo, satu abad kemudian. Ketika Marco Polo pulang dari Cina melalui laut pada tahun 1291, dia singgah di negeri Ferlec yang sudah memeluk agama Islam.
0 comments:
Post a Comment